MAKALAH
AKSIOLOGI ILMU
(Pengertian, Tujuan & Fungsi Ilmu dan Etika Ilmu)
Tugas Mata Kuliah
FILSAFAT ILMU
Dosen Pengampu:
Dr. Danial, MA
DISUSUN OLEH :
NIM : 2017530425
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu,
sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka
menyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu.
Filsafat ilmu yang dimaksud di sini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil
dari berfikir radikal, sistematis dan universal. Oleh karena itu, Filsafat ilmu
hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan
tujuannya, yakni memfokuskan diri terhadap kebahagian umat manusia.
Ilmu pengetahuan yang
merupakan produk kegiatan berpikir manusia adalah wahana untuk meningkatkan
kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Dengan
kemajuan ilmulah manusia bisa merasakan kemudahan dalam hidupnya, seperti
transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya.
Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya.
Kemudian timbul
pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat manusia? Dan
memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat
menciptakan berbagai bentuk teknologi sehingga memudahkan kerja manusia, namun
kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan
malapetaka bagi umat manusia itu sendiri. Disinilah ilmu harus di letakkan
proporsional dan memihak pada nilai- nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika
ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan
malapetaka.
Meskipun demikian, pada
hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada
tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh
ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu. Masalah yang terakhir
ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi, yang mana nilai
ilmu tidak lepas dari persoalan prilaku yang sesuai dengan moralitas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AKSIOLOGI ILMU
1. PENGERTIAN
Aksiologi merupakan bagian ketiga dari kajian filsafat
setelah ontologi dan epistemologi. Jika dalam kajian ontologi mempertanyakan
tentang objek apa yang akan ditelaah dan pada kajian epistemologi berkaitan
dengan bagaimana asal, sifat dan jenis pengetahuan, sedangkan aksiologi
merupakan cabang filsafat yang memepertanyakan bagaimana manusia menggunakan
dan memanfaatkan ilmunya.[[1]]
Menurut
bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos
artinya teori atau ilmu. Jadi,
aksiologi adalah teori tentang nilai. [[2]]
Menurut
Kamus Bahasa Indonesia, aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.[[3]]
Berikut ini beberapa pengertian
aksiologi menurut para ahli:
1.
Menurut Jujun S. Suriasumantri,
Aksiologi
adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di
peroleh.[[4]]
2.
Menurut Wibisono,
Aksiologi
adalah nilai-nilai sebagaitolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar
normati6e penelitiandan penggalian, serta penerapan ilmu.[[5]]
3.
Scheleer dan Langeveld,
memberikan definisi aksiologi sebagai berikut:
Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu
teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology,
yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal
utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan
penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian
filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut
indah dan jelek.[[6]]
4.
Menurut Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas:
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.[[7]]
5.
Kattsoff,
Mendefenisikan
aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau
dari sudut pandang kefilsafatan.[[8]]
Nilai
yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Aksiologi merupakan bagian filsafat yang
mempersoalkan penilaian, terutama berhubungan dengan masalah atau teori umum
formal mengenai nilai.[[9]]
7.
Menurut
Bramel,
Aksiologi terbagi tiga bagian :[[10]]
1.
Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang
ini melahirkan disiplin ilmu khusus yaitu
“ilmu etika” atau nilai etika.
2.
Esthetic expression,yaitu ekspresi keindahan, bidang ini
melahirkan keindahan atau nilai seni.
3.
Socio-political live, yaitu kehidupan social politik, yang
akan melahirkan melahirkan konsep Sosio Politik
atau nilai-nilai sosial dan politik.
8.
Menurut
John Sinclair,
Dalam lingkup kajian filsafat nilai
merujuk pada pemikiran atau suatu system seperti politik, social dan agama.
Sedangkan menurut Richard bender suatu
nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan kepuasan batin dan memiliki
nilai manfaat pada kehidupan.[[11]]
9.
Menurut
Surajiyo, aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu.[[12]]
10. Dalam Encyclopedia
of Philosophy dijelaskan aksiologi
disamakan dengan value and valuation, yaitu:[[13]]
1. Kata “nilai” digunakan sebagai kata
benda abstrak.
Dalam pengertian
yang sempit seperti: baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang
lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan
kesucian.
2. Kata “nilai” digunakan sebagai kata
benda kongkrit.
Misalnya, ketika kita
berkata sebuah “nilai” atau nilai-nilai. Pada bentuk ini, ia seringkali dipakai
untuk merujuk pada sesuatu yang bernilai, seperti ungkapan “nilai dia berapa?
atau sebuah sistem nilai. Untuk itu, ia berlawanan dengan apa-apa yang tidak
dianggap baik atau tidak bernilai.
3. Kata “nilai” digunakan sebagai kata
kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai.
Pada bentuk ini,
nilai sinonim dengan kata “evaluasi” pada saat hal tersebut secara aktif
digunakan untuk menilai.
Adapun problem utama aksiologi
menurut Runes berkaitan dengan:[[14]]
1.
Kodrat nilai
berupa problem mengenai apakah nilai itu berasal dari keinginan, kesenangan,
kepentingan, keinginan rasio murni.
2.
Jenis-jenis nilai
menyangkut perbedaan antara nilai intrinsik, ukuran untuk kebijaksanaan nilai
itu sendiri, nilai-nilai instrumental (baik barang-barang ekonomi atau
peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai nilai-nilai intrinsik.
3.
Kriteria nilai
(ukuran nilai yang di butuhkan).
Situasi nilai juga meliputi empat
hal, yaitu:
1.
Segi
pragmatis yang merupakan suatu subyek yang memberi nilai.
2.
Segi
semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi nilai.
3.
Suatu
perbuatan penilaian.
4.
Nilai
ditambah perbuatan penilaian.[[15]]
Jadi, aksiologi adalah
ilmu pengetahuan yang menyelidiki nilai. Jika epistemology menyelidiki
bertujuan untuk mendapatkan kebenaran secara teoritis-rasional, maka aksiologi
lebih menekankan pada masalah kebaikan, dan estetika terkait erat dengan
masalah keindahan.[[16]]
Aksiologi merupakan
cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu
sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmutersebut. Jadi hakikat yang ingin
dicapai aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu pengetahuan.
Jadi objek kajian
aksiologi adalah menyangkutmasalah nilai kegunaan ilmu karena ilmu dalam
konteks filsafat tidak bebas nilai.Artinya pada tahap-tahap tertentu,ilmu harus
disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral sehingga nilai kegunaan ilmu
itu dapat dirasakan oleh masyarakat.
Secara historis, istilah yang lebih
umum dipakai adalah etika (ethic) atau moral. Tetapi dewasa ini istilah
aksiologi lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi biasa
disebut sebagai the theory of falue atau teori nilai. Bagian darifilsafat yang
menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dansalah (right
and wrong), serta tata cara dan tujuan (mean and end).
Aksiologi mencoba merumuskan suatu
teori yang konsisten untuk perilakuetis. Ia bertanya seperti apakah baik itu ?
tatkala yang baik terindetifikasi,
makakemunkinan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni
memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya”.
Demikianlahaksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan
kosep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.[[17]]
Jadi, pertanyaan
di wilayah aksiologi menyangkut, antara lain:
· Untuk apa pengetahuan ilmu itu
digunakan?
· Bagaimana kaitan antara cara
penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral?
· Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
· Bagaimana kaitan metode ilmiah yang
digunakan dengan norma-norma moral dan professional? (filsafat etika).
2. OBJEK KAJIAN FILSAFAT AKSIOLOGI
Dalam aksiologis
dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga
nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. Aksiologi pada
dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh
panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau
tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau
salah karena ia tidak dapat diuji . Ukurannya sangat subjektif dan objek
kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan
fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat
memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari
suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.[[18]]
Landasan aksiologis
ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang
mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia?” (dalam
psikologi, lihat juga ”The New Science of Axiological Psychology” oleh Leon
Pomeory). Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: ”Sejauh mana
pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”.
Dalam hal ini,
persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis,
persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut Bertens,
pertanyaan ini menyangkut etika: ”Apakah yang bisa dilakukan berkat
perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan juga?”.
Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu
sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya
adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh
ditentukan oleh kesadaran moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan
untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik.[[19]]
Dengan demikian dalam
filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan kaitan ilmu dan
moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain
Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering
muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu itu bebas dari sistem
nilai ? Ataukah sebaliknya, apakah itu itu terikat pada sistem nilai?.[[20]]
Ternyata pertanyaan
tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok
ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok
pertama menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut
mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya
dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut
campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya
terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan
pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas
moral.[[21]]
B. TUJUAN DAN FUNGSI ILMU
Adanya
ilmu berawal dari manusia.Ilmu dimulai dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia, sebab hanya manusia yang
memiliki kemampuan rasional dalam melakukan aktivitas kognitif yang menyangkut
pengetahuan dan selalu mengarah pada tujuan dan fungsi tertentu yang berkaitan
dengan ilmu.
Tujuan
dan fungsi tersebut bermacam-macam sesuai apa yang diharapkan oleh
masing-masing ilmuwan. Tujuan dan fungsi itulah yang mendorong dan
melatarbelakangi manusia atau para ilmuwan untuk melakukan penelitian.
Adapun
tujuan dan fungsi ilmu antara lain:[[22]]
a.
Pengetahuan
(knowledge)
b.
Kebenaran
(truth)
c.
Pemahaman
(understanding, comprehension, insight)
d.
Penjelasan
(explanation)
e.
Peramalan
(prediction)
f.
Pengendalian (control)
g.
Penerapan
(application, invention, production).
a. Pengetahuan (knowledge).
Ilmu bertujuan
memberikan pengetahuan(knowledge), maksudnya adalah aktivitas yang dilakukan
oleh para ilmuwan yang melakukan penelitian tertentu menggunakan ilmu untuk mencapai
suatu tujuan akhir yang menghsilkan sebuah pengetahuan yang terbukti dan teruji
keabsahannnya.
b. Kebenaran (truth).
Ilmu
bertujuan memberikan kebenaran (truth). Dari
penjelasan sebelumnya kita sudah dapat mengetahui bahwa dari aktivitas
penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dapat menghasilkan suatu ilmu yang terbukti kebenarannya karena
sudah melalui tahap-tahap metode ilmiah dan teruji kebenarannya.
c. Pemahaman (understanding,
comprehension, insight).
Ilmu
bertujuan memberikan pemahaman. Ilmu dapat memberikan pemahaman bagi yang
mempelajarinya, dari yang sebelumnya tidak paham menjadi paham dan mengerti.
Dari
pendapat-pendapat ilmuwan tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa ilmu
bertujuan memberikna pemahaman terhadap sebab-sebab dan kaidah-kaidah mengenai
proses-proses alamiah yang ada di dunia ini.
d. Penjelasan (explanation).
Ilmu
dapat menjabarkan secara jelas dan gamblang hal yang dikaji secara mendalam
sehingga dari sebuah pengetahuan baru tersebut yang kemudian diperoleh
penjelasan yang menjelaskan tentang hal-hal yang sedang diselidiki.
e. Peramalan (prediction).
Ilmu
dapat membuat penjelasan- penjelasan yang meramalkan mengenai fenomena sebagai
suatu latar belakang yang memungkinkan. Dari hipotesis atau kaidah yang ada
kita dapat membuat ramalan atau tafsiran yang kemudian akan menghasilkan
tindakan-tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
f. Pengendalian (control).
Dengan
ilmu kita dapat mengendalikan alam setelah kita memahami alam secara mendalam.
g. Penerapan (application, invention,
production).
Ilmu
merupakan aktivitas manusia yang sifatnya rasional dan kognitif dengan berbagai
metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan
pengetahuan yang sistematis yang kemudian diteruskan dengan penerapannya.
Hubungan antara ilmu dengan penerapannya dapat dilihat dari berbagai teknologi
yang ada sekarang ini.
C. ETIKA ILMU
1.
PENGERTIAN
ETIKA
Istilah “etika” berasal
dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani “ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan,
adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta
etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar
belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles
(384 – 322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita
membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[[23]]
Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953) “etika” dijelaskan sebagai:
“ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988),
di situ “etika” dijelaskan dengan membedakan tiga arti: “1) Ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2)
kumpulan asa atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat”.[[24]]
Secara terminologi
etika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang tinkah laku
manusia atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik dan buruk, yang
dapat dinilai baik buruknya adalah sikap manusia yang menyangkut dengan
perbuatan, tingkah laku, gerak-gerik, kata-kata dan sebagainya.[2]
Etika merupakan
pemikiran manusia yang tercakup dalam sebuah perangkat penilaian manusia dalam
menghadapi lingkungannya. Kedudukan etika dalam kebudayaan menjadi modal
penting dalam pengembangan wawasan
pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu etika di dalam kajian
filsafat merupakan cabang dari aksiologi yaitu ilmu pengetahuan yang
mempelajari hakikat nilai. Salah satu bagian yang merupakan penjelasan-penjelasan dalam
filsafat yang membicarakan masalah predikat baik (good) dan buruk (bad) dalam
arti susila (moral) dan asusila (immoral). Predikat-predikat tersebut tidak
akan mempunyai makna apapun (meaningless) bila tidak terwujud dalam tindakan
manusia di alam empiris.[[25]]
Predikat-predikat di
atas pada bentuk kualitasnya akan mengacu pada satu sisi dari dua sisi yang
saling beroposisi, yakni pada sisi baik atau susila. Apabila seseorang
menganntarkan simbol pada bentuk atribut yang sesuai dengan pendapat dan aturan
umum maka dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut bersusila, baik dan juga
etis. Sehingga pada sisi baik dan bersusila disebut etika. Sebaliknya orang
yang tidak sesuai dengan kebiasaan umum komunitasnya maka disebut sebagai tidak
baik, tidak bersusila, tidak etis dan dianggap melanggar etika.[[26]]
Ada 3 klasifikasi penyelidikan tingkah
laku moral, yaitu:
1.
ETIKA
DESKRIPTIF Kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan
2.
ETIKA
NORMATIF sudah memberikan penilaian yang baik dan buruk, yang harus dikerjakan
dan yang tidak.
3.
METAETIKA
Bergerak pada taraf lebih tinggi yaitu Bahasa yang digunakan di bidang moral.
Di dalam buku Pengantar
Filsafat yang disusun oleh Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya
disebutkan bahwa ada banyak sekali aliran penting dalam etika, diantaranya:
1.
Aliran
Naturalisme,
Kebahagiaan manusia
itu diperoleh dengan menurutkan panggilan natural (fitrah) kejadian manusia itu
sendiri.
2.
Hedonisme,
Perbuatan susila
itu ialah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan).
3.
Utilitarisme,
Menilai
baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari besar dan kecilnya
manfaat atau kegunaan bagi manusia (utility).
4.
Idealisme,
Seseorang
berbuat baik atas dasar kemauan dan kewajiban atas dasar nurani manusia.
5.
Vitalisme,
Menilai
baik-buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada atau tidak adanya daya
hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.
6.
Theologisme,
Menilai
ukuran baik buruk didasarkan atas dasar ajaran Tuhan.
2.
PENGERTIAN
ILMU
Kata “ilmu” secara
etimologi berarti tahu atau pengetahuan. Kata ilmu berasal dari bahasa Arab
(‘Alima-Ya’lamu), dan science dari bahasa Latin Scio, scrie artinya to know.
Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah epitisteme.
Sedangkan secara
terminologi ilmu atau science adalah semacam pengetahuan yang mempunyai
ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat tertentu. Menurut ensiklopedia
pengertian ilmu adalah “Ilmu pengetahuan yaitu suatu sistem dari berbagai
pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengetahuan tertentu,
yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, sehingga menjadi
kesatuan suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan
sebagai hasil pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode
tertentu (induksi, deduksi)[[27]]”.
Dari berbagai definisi
diatas kiranya dapat dipahami bahwa ilmu adalah sekumpulan pengetahuan yang
disusun secara sistematis berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang kemudian
dihubungkan berdasarkan pemikiran yang cermat dan teliti kemudian dapat
dipertanggung jawabkan dengan berdasarkan metode dan akan terus di kembangkan
oleh para ahlinya sehingga tertuju pada titik kesempurnaan.
3.
HUBUNGAN
ETIKA DAN ILMU
Sebelum proses
penyempurnaan atau pengembangan ilmu inilah para ahli harus menggunakan etika
sebagai alat pertimbangan baik-buruk efek dari ilmu yang akan dikembangkan.
Karena tidak semua ilmu yang dikembangkan akan di dipergunakan dengan baik oleh
manusia.
Dalam hal ini berarti
bahwa para ahli atau para ilmuan dalam mengembangkan ilmu harus memperhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, betanggung
jawab pada kepentingan umum, kepentingan regenerasi, dan bersifat universal,
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan yang berkemungkinan besar
akan terjadi. Karena pada dasarnya suatu ilmu diciptakan oleh para ahli atau
ilmuan untuk membantu perkembangan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan
untuk menhancurkan manusia.
Tanggung jawab ilmu
menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan
ilmu di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar
keputusan bebas manusia dalam kegitannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu
terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal
ini tentu saja menuntup tanggung jawab untuk selalu menjaga agar apa yang
diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik
bagi perkembangan ilmu itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia
secara utuh.
Hubungan antara ilmu
dengan etika (moral) oleh Jujun S. dikaji secara hati-hati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai hal
tersebut adalah sebagai berikut:[[28]]
1.
Untuk
mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka
pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci
yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2.
Menafsirkan
hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah
perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan
sejarah kemanusiaan.
3.
Secara
ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek
ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan
tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak
mencampuri masalah kehidupan.
4.
Secara
epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metode keilmuan yang berporoskan
proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan
menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung
tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi.
5.
Secara
aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia
dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah
ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara
komunal universal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai – nilai khususnya
etika. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat.
Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia,
tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan
pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik – baiknya. Dalam filsafat
penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan.
2.
Adapun tujuan dan fungsi ilmu
antara lain:
a.
Pengetahuan (knowledge)
b.
Kebenaran (truth)
c.
Pemahaman (understanding,
comprehension, insight)
d.
Penjelasan (explanation)
e.
Peramalan (prediction)
f.
Pengendalian (control)
g.
Penerapan (application, invention,
production).
3.
Istilah
“etika” berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani “ethos” dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput,
kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir dan
adat kebiasaan.
Secara
terminologi etika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang
tinkah laku manusia atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik dan
buruk, yang dapat dinilai baik buruknya adalah sikap manusia yang menyangkut
dengan perbuatan, tingkah laku, gerak-gerik, kata-kata dan sebagainya
Ilmu adalah
sekumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis berdasarkan pengalaman
dan pengamatan yang kemudian dihubungkan berdasarkan pemikiran yang cermat dan
teliti kemudian dapat dipertanggungjawabkan dengan berdasarkan metode dan akan
terus di kembangkan oleh para ahlinya sehingga tertuju pada titik kesempurnaan.
Hubungan etika dan ilmu berarti juga penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006).
Ali Abri , MA, Filsafat
Umum suatu Pengantar. Untuk kalangan sendiri
Amsal, Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali pers.
2009,
De Vos, Pengantar Etika,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 23. Baca juga dalam John
Llewelyn, Emmanuel Levinas: The Genealogy of Ethics, (New York: Routledge,
1995),
http://ryneezone.blogspot.co.id/2011/04/7-tujuan-ilmu-dan-contohnya.html
http://yahya29.heck.in/makalah-pengertian-ilmu.xhtml
Irmayanti M.
Budianto, Filsafat dan Metodologi Ilmu
Pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah,(Depok: Fakultas Sastra UI,
2001).
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer.(Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. 1990),
K. Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia, 1993),
Louis O.Kattsof. Pengantar filsafat. Alih bahasa soejono
soemargono .Yogyakarta : Tiara Wacana .1996,
Magnis-Suseno,
F. Filsafat-kebudayaan-politik:
Butir-butir pemikiran kritis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).
Rizal
Mustansyir Dan Misnal Munir. Filsafat
Ilmu
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978 )
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi
Aksara. 2007),
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar
Filsafat, (Bandung,
Refika Aditama, 2007),
TIM. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Uyoh sadullah, pengantar filsafat pendidikan (Bandung :
Alfabeta CV,2007),
Vardiansyah,
Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu
Pengantar, Indeks, Jakarta 2008.
[2] Ahmad Tafsir, filsafat
ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006). 37-41.
[3] TIM. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Hal. 19
[4] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar
Populer.(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1990), hal. 234
[5] Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara. 2007), hal. 152
[6] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, (Bandung, Refika Aditama, 2007), hal.
155-157
[8] Irmayanti M.
Budianto, Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja
Ilmiah,( Depok: Fakultas Sastra UI, 2001). Hal 106
[9] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat,…………………….), hal. 36
[10] Amsal, Bakhtiar. Filsafat
Ilmu. Jakarta: Rajawali pers. 2009, hal. 163
[11] Ali Abri , MA, FilsafatUmumsuatuPengantar
.Untukkalangansendiri .Hal.33
[12] Surajiyo. FilsafatIlmudanPerkembangannya di Indonesia.
Jakarta: BumiAksara. 2007, hal.152
[13] Amsal, Bakhtiar. Filsafat
Ilmu. Jakarta: Rajawali pers. 2009, hal. 164
[16] Louis O.Kattsof. pengantar filsafat. Alih bahasa soejono
soemargono .Yogyakarta : Tiara Wacana .1996, hal.327
[17] Uyoh sadullah, pengantar filsafat pendidikan (Bandung :
Alfabeta CV,2007), hal. 36
[18] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978 ) hal. 471-472
[19] Magnis-Suseno, F.. Filsafat-kebudayaan-politik:
Butir-butir pemikiran kritis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).,hal.49
[20] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar
Populer…………………..,hal 2
[21] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar
Populer…………………..,hal 231
[22]
http://ryneezone.blogspot.co.id/2011/04/7-tujuan-ilmu-dan-contohnya.html
[23] K. Bertens, Etika
(Jakarta: PT Gramedia, 1993), hal. 4
[24] K. Bertens,
Etik,……………………………….., hal. 5-6
[25] De Vos, Pengantar Etika,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 23. Baca juga dalam John
Llewelyn, Emmanuel Levinas: The Genealogy of Ethics, (New York: Routledge,
1995), hal 25
[27] http://yahya29.heck.in/makalah-pengertian-ilmu.xhtml
[28] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar
Populer…………………..,hal 341
No comments:
Post a Comment