Sunday, February 4, 2018

Makalah Sejarah Pemikiran Hukum, Pendidikan dan Theologi Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sejarah berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa depan. Dalam perjalanan sesuatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Di samping itu, mempelajari sejarah yang sudah berjalan cukup panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan jika dibagi ke dalam beberapa babakan di mana setiap babakan merupakan satu komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan satu kebulatan untuk satu jangka waktu. Rangkaian inilah yang dinamakan periodesasi sejarah.[[1]]
Sejak awal perkembangannya, Islam tumbuh dalam pergumulan dengan pemikiran dan peradaban umat manusia yang dilewatinya dan karena terlibat dalam proses dialektika yang di dalamnya terjadi pengambilan dan pemberian. Dari kebudayaan Arab, Islam telah mengambil, memelihara dan mengembangkan beberapa hal seperti sistem moral, tata pergaulan dan hukum keluarga, serta sistem politikpun diambil dari kebudayaan Arab. Sebaliknya, Islam memberikan kemungkinan bagi sastra Arab untuk berkembang mengatasi perkembangannya pada masa sebelumnya Al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang memeluk Islam pandangan dunia, tujuan hidup, peribadatan dan sebagainya yang kemudian merupakan bagian utama dari pemikiran dan peradaban Islam. Itu semua didukung oleh kreativitas umat Islam sendiri yang memang diberi ruang yang luas untuk bergerak[[2]]
Dengan demikian dalam perspektif sejarah, perkembangan pemikiran dan peradaban Islam mulai pada zaman Nabi Muhammad Saw dan Para Sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat di mana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban ke arah yang lebih maju. Secara garis besarnya, sejarah pemikiran dan peradaban Islam ini mendeskripsikan perjalanan panjang dialektika intelektual muslim, yang memberikan interpretasi wahyu dalam konteks ruang dan waktu. Hasil tradisi intelektual dan epistemologi menjadi alur peradaban Islam sepanjang sejarah.
Menyadari hal di atas, bidang kajian pemikiran Islam dalam perspektif sejarah merupakan suatu bidang kajian yang menarik untuk dipelajari. Untuk itu sebagai kerangka awal dalam makalah ini dicoba dibahas tentang sejarah pemikiran hukum Islam, sejarah pemikiran pendidikan Islam dan sejarah pemikiran teologi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    SEJARAH PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
1.      PEMIKIRAN HUKUM ISLAM PEROIDE I
(PERIODE RASULULLAH SAW)

Sebelum nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, kondisi bangsa Arab pada saat ini tidak semata-mata didasarkan pada syariat sebagai kehendak Tuhan yang transenden, namun juga didasarkan pada realitas sosial, maka perlu dipahami ciri-ciri utama tatanan bangsa Arab pra Islam, sebagai berikut:
1.      Menganut paham kesukuan.
2.      Memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas; faktor keturunan lebih penting dari pada kemampuan.
3.      Mengenal hierarki sosial yang kuat
4.      Kedudukan perempuan cenderung direndahkan.[[3]]

Mereka hanya mempunyai beberapa ketentuan yang mereka pergunakan dalam menyelesaikan pertengkaran.[[4]] Demikianlah keadaan hukum dan perundang-undangan masa sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul. 
Pada periode setelah nabi diangkat menjadi Rasul, Allah SWT menugaskan Rasul yang bertujuan untuk :
1.      Memperbaiki keadaan akhlak manusia dengan cara menanamkan kedalam diri manusia untuk selalu berkelakuan baik dan menjauhi larangan Allah.
2.      Memperbaiki aqidah umat manusia yang terlah terlanjur sangat rusak, dengan cara menanamkan benih-benih ajaran tauhid.
3.      Menetapkan aturan-aturan pergaulan hidup, aturan-aturan muamalah sesama anggota masyarakat untuk mewujudkan kemakmuran dengan cara menaati tasyri’.[[5]]

Islam datang kepada umat manusia oleh seorang Rasul yang diutus untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang pada masa itu menyembah berhala, system masyarakat yang kacau balau. Pada awalnya Rasulullah sangat hati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami cukup banyak hambatan dan halangan yang dilakukan oleh suku quraisy pada saat itu.
Menurut Ahmad Syalabi, ada lima factor yang menyebabkan orang Quraisy termotivasi untuk menentang seruan Islam tersebut:
1.      Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
2.      Nabi Muhammad saw. mendakwahkan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
3.      Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
4.      Taklid kepada nenek moyang yang sudah mengakar pada bangsa Arab.
5.      Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezki.[[6]]

Inilah yang mengakibatkan dalam penerapan peraturan-peraturan maupun syariat Islam diperlukan adanya proses yang bertahap. Tahap awal dari orientasi Islam adalah memenuhi aqidah yang merupakan landasan utama yang menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakatnya. Di samping itu, penghapusan sedikit demi sedikit moral bejat mereka, menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah mendarah daging di kalangan mereka. Ini merupakan awal pembentukan hukum Islam yang menggunakan alquran sebagai sumber atau dasarnya.
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Alquran diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia. Ayat demi ayat yang diterima oleh Rasulullah saw. diterangkan dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau yang kemudian diamalkan oleh kaum Muslimin. Pada masa kenabian, terdapat dua periode pembinaan hukum Islam, yaitu periode Makkah dan periode Madinah.
Penetapan hukum pada masa Rasulullah SAW dapat dibagi kedalam dua periode yaitu :
1.      Sejarah Penetapan Hukum Periode Mekkah

Periode Makkah dikenal dengan periode penanaman aqidah dan akhlak. Aqidah berbicara tentang kepercayaan kepada Allah swt., kepada Malaikat, Kepada Rasul, kepada hari akhir dan kepada qada dan qadar. Sementara itu akhlak berbicara tentang larangan membunuh, larangan mengurangi timbangan dan menjauhi perbuatan tercela, dll. Kedua hal inilah yang diutamakan Nabi saw. dalam dakwahnya. Pada periode ini, yang paling pokok ditekankan dalam ajaran Islam adalah masalah ketauhidan atau akidah, karena tauhid inilah yang menjadi fondasi bagi segala amalan lainnya.[[7]]
Perbaikan akidah diharapkan dapat menyelamatkan umat Islam dari kebiasaan-kebiasaan buruk sebelumnya, seperti berperang, zina, mabuk-mabukkan, mengubur anak perempuan hidup-hidup dan menghinakan perempuan. Kemudian mengajarkan kepada mereka hal-hal yang baik, seperti menegakkan keadilan, persamaan dan hak asasi manusia, saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, serta menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia. [[8]]
Periode Mekkah juga bisa dikatakan sebagai periode revolusi akidah, karena mengubah masyarakat yang awalnya sangat kental dengan sistem kepercayaan jahiliyah menjadi penghambaan kepada Allah semata. Revolusi ini menghadirkan perubahan fundamental, rekontruksi sosial dan moral bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada masa ini belum ada ayat mengenai legislasi sosial atau menyusun hukum-hukum civil seperti hukum-hukum perdagangan.[[9]]
2.      Sejarah Penetapan Hukum Periode Madinah

Hijrahnya Nabi saw. ke Madinah merupakan periode yang kedua dalam pembinaan hukum Islam. Periode Madinah dikenal sebagai periode penaatan dan pemapanan masyarakat. Oleh karena itu di periode Madinah inilah nabi mensyariatkan hukum dalam segala aspek kehidupan manusia, baik itu hubungan vertikal manusia dengan Allah SWT, ataupun hubungan yang bersifat horizontal manusia dengan manusia lain.
Adapun faktor yang menyebabkan proyek hukum banyak dibicarakan dalam periode Madinah yaitu karena dalam periode ini orang Islam sudah memiliki dasar akhlak dan aqidah yang kuat sebagai landasan terhadap aspek-aspek lainnya.
Beberapa contoh metode yang diterapkan Rasulullah pada masa pertumbuhan dan pembinaan hukum Islam di Madinah. antara lain adalah:
1.      Perubahan yang ditetapkan dilakukan secara revolusi ataupun bertahap (tadwin) terhadap adat istiadat yang telah mengakar dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah tentang permasalahan minuman khamar dan judi.[[10]] Pada tahap pertama menjelaskan tentang kerugian yang lebih besar daripada keuntungannya. Pada tahap berikutnya tidak boleh mendekati shalat ketika dalam keadaan mabuk dan pada akhirnya dinyatakan sebagai perbuatan syaitan dan mesti dijauhi. Kemudian penjelasan hukum yang diberikan oleh Rasulullah saw. lebih banyak dalam bentuk pertanyaan yang diajukan dan memerlukan jawaban.

2.      Bersifat tegas (evolusioner) dalam bidang-bidang tertentu terutama dalam ibadah maupun aqidah.[[11]]
3.      Metode yang diterapkan dalam penetapan hukum tidak berpandangan picik (berwawasan luas).[[12]]

4.      Penyederhanaan aturan-aturan atau untuk keringanan manusia.[[13]] Metode yang diterapkan Rasulullah saw. ini bersandarkan tuntunan Allah swt dalam menerapkan ataupun membina hukum Islam.
Banyak sekali hukum yang disyariatkan pada periode Madinah untuk menjawab suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, pada periode hukum lebih ditekankan untuk menghadapi permasalahan yang kompleks dalam berkehidupan sosial, contohnya seperti boleh tidaknya menggauli istri yang sedang haid,[[14]] bolehkah berperang pada bulan haji,[[15]] bagaiman proses dikharamkannya khamar, [[16]] hukum-hukum perdagangan, dll.

Jalan yang Nabi tempuh dalam membina hukum pada masa itu
Nabi membina hukum ini secara berangsur-berangsur satu demi satu, bukan sekaligus. Di sini Nabi menetapkan hukum dan perundang-undangan berdasarkan putaran roda kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin semakin maju. Pada periode pertama ini, penetapan hukum berdasarkan tangan Nabi s.a.w sendiri tak ada seorang pun yang ikut campur tangan. Dasar Nabi dalam menetapkan hukum adalah dari Allah dan penetapan-penetapan nabi yang berdasar pada wahyu Allah juga. Ayat-ayat hukum yang turun lantaran ada suatu sebab atau untuk menjawab suatu pertanyaan. Sangat jarang sekali ayat yang turun tanpa sebab (asbabun nuzul) atau perbuatan. [[17]]

Sumber-Sumber Legislasi[[18]]
Pada Masa Rasulullah.

Apabila terjadi suatu kasus persengketaan, suatu kejadian, pertanyaan atau hal yang memerlukan fatwa yang kesemuanya memerlukan dan menuntut legislasi, maka Allah wayuhkan kepada Rasulullah saw suatu ayat atau lebih yang mengandung hukumannya sesuai dengan tuntutan hal tersebut , setelah itu baru Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam. Sebaliknya, apabila  terjadi suatu kasus yang memerlukan legislasi, tapi Allah tidak menurunkan wahyu untuk menentukan hukumnya kepada Rasulullah, maka Rasulullah saw berijtihad sendiri dalam mendapatkan hukum kasus tersebut.[[19]]
Ijtihad Pada Masa Rasulullah
Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan[[20]], walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan.
Sumber/kekuasaan tasyri’ (pembuatan undang-undang) pada periode ini hanya dipegang oleh Rasulullah dan tak seorang pun dari umat Islam, selain beliau dibolehkan menentukan hukum yang berkenaan dengan suatu peristiwa, baik untuk dirinya sendiri, ,ataupun untuk orang lain. Hal ini karena dengan adanya Rasulullah SAW. Di tengah-tengah mereka, yang memudahkan mereka mengembalikan setiap masalah kepada beliau, maka tak seorangpun dari mereka berani berfatwa dari hasil ijtihadnya sendiri dalam suatu peristiwa atau menjatuhkan vonis terhadap suatu persengketaan yang terjadi.[[21]] Bahkan, kalau mereka (para sahabat) menghadapi suatu peristiwa, terjadi persengketaan, suatu pertanyaan, atau permintaan fatwa, mereka langsung mengembalikan persoalan-persoalan itu pada Rasulullah saw.
Namun demikian sebagian sahabat pernah melakukan ijtihad dan memutuskan sebagian persengketaan dan mengambil suatu hukum. Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:[[22]]
Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.[[23]]
Hal tersebut di atas dan semacamnya tidak berarti menunjukkan bahwa seorang selain Nabi mempunyai wewenang untuk membuat ketentuan hukum, sebab hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, yang tidak memungkinkan untuk menyerahkan permasalahannya kepada Rasulullah saw. Di samping itu, keputusan sahabat itu merupakan penerapan hukum, bukan merupakan suatu tasyri’. Olehnya itu setiap ijtihad sahabat belum merupakan ketetapan yang berlaku bagi umat Islam kecuali bila ada ketetapan dari Rasulullah saw. ijtihad yang datang selain dari beliau baru bisa menjadi tasyri’ kalau sudah ada pengakuan dari beliau.[[24]]
Jika disimak hukum Islam seirama dengan dimensinya dalam sejarah, maka isi pengkajian dalam setiap dimensinya mutlak menampakkan berbagai sistem atau metode. Oleh sebab itu, pada zaman Rasulullah saw., hukum Islam secara bersahaja dapat diperoleh berdasarkan wahyu Allah swt dan ijtihad Rasulullah saw, yaitu hukum Islam dalam perspektif Alquran dan Sunah. Masing-masing diyakini oleh umat Islam adalah syari’at Islam, semua tergambar sebagai dalil naqli atau nash-nash.[[25]]
Pengaturan tentang peraturan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an lebih banyak diungkapkan secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan Nabi. Oleh karena itu, terasa perlu untuk tetap mengkaji sunnah, karena Nabi sebagai mubayyin terhadap al-Qur’an. Sebagian aturan al-Qur’an yang bersifat umum atau yang berbentuk gari-garis besar telah diperjelas secara harfiah oleh Nabi. Akan tetapi kemudian akan muncul permasalahan, karena masih banyaknya juga penjelasan Nabi yang juga memerlukan penalaran.[[26]]
Sebenarnya ini masih menjadi perdebatan apakah nabi melakukan ijtihad atau tidak, ada tiga pendapat mengenai ini, yakni :
1.       Sebagaian ulama menyatakan bahwa tidak mungkin Nabi berijtihad, mereka adalah Asy’ariyah, mayoritas Mu’tazilah, Abu Ali al Jubai, dan Hasyim. Mereka beralasan :

-         Bahwa Nabi selalu dibimbing Allah dan perkataannnya adalah wahyu.
-         Nabi memiliki kemampuan untuk sampai kepada hukum yang meyakinkan, sedangkan ijtihad merupakan hal yang tidak meyakinkan.
-         Ijtihad itu apabila tidak ada nash, sedangkan selama nabi masih hidup tidak mungkin nash itu berhenti.

2.       Jumhur Ulama Berpendapat bahwa Nabi mungkin dan boleh melakukan ijtihad sebagaimana berlaku kepada umat manusia.

Adapun argumen jumhur adalah :

Nabi beberapa kali melakukan ijtihad, namun ijtihad nabi kurang tepat hingga ditegur oleh Allah. Contohnya dalam peristiwa tawanan perang Badar, apakah tawanan akan dimintai tebusan ke keluarganya atau dibunuh saja, nabi lebih cenderung untuk menahannya dan ditukar saja, sesuai dengan pendapat Abu Bakar, sementara Umar menganjurkan untuk dibunuh saja (al-Anfal :67). Kemudian Nabi memperbolehkan orang munafik ikut perang uhud, padahal Umar menyarankan untuk tidak ikut berperang (at-Taubah 43). Umar juga sering bertanya dulu kepada Nabi apakah ini wahyu atau ijtihad beliau.

3.       Pendapat yang mengambil jalan tengah yakni, dapat saja Nabi berijtihad dalam masalah-masalah keduniaan seperti dalam menentukan taktik peperangan, serta keputusan-keputusan yang berhubungan dengan perselisihan dan persengketaan, tapi tidak dalam masalah hukum syara’.[[27]]

Peradilan di Masa Rasulullah

Peradilan masa rasulullah dapat dikatakan sangat sederhana tanpa adanya gedung khusus. Seketika orang mengajukan perkara, maka ketika itu pula diselesasikan. Pada masa itu Rasul memutus perkara sebagaimana zahirnya             (berikut saksi dan bukti) yang menyertainya, dan dalam hal-hal tertentu ia menggunakan sumpah sebagai penguat jika tidak ada bukti, keputusan yang diambil rasul itu merupakan hasil ijtihad beliau bukan dari wahyu.
Pada masa Rasulullah sudah ada institusi banding dan peninjauan kembali bagi suatu keputusan hukum yang telah dijatuhkan. Kemudian keputusan ada kemungkinan dibatalkan, atau diganti dengan keputusan yang baru.[[28]]
`          Dari berbagai pembahasan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi penjelasan) juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan kurang bahkan tidak reaksi dalam masyarakat. Pada zaman Nabi, hukum-hukum atau penetapan-penetapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu. Hukum Islam pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan Nabi yang nampak pada tindakan-tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.[[29]]

2.      PEMIKIRAN HUKUM ISLAM PERIODE II
(PERIODE KHULAFAUR-RASYIDIN)          

Khulafaur Rasyidin adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebutkan empat orang pimpinan tertinggi umat Islam yang berturut-turut menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara,yaitu Abu Bakar (w. 13 H), Umar bin Khattab (w. 23 H),Usman bin Affan (w. 35 H)dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H).
Setelah Rasulullah wafat, kendali tasyri’ (penetapan hukum) dipegang oleh Khulafaur-Rasyidin. Mereka menghadapi tugas-tugas yang berat, hal ini dikarenakan perkembangan luas wilayah Islam yang pada saat itu mulai memasuki daerah mesir, syam, persia dan Iraq. Dan karena di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak menashkan hukum bagi setiap kejadian dan masalah. Maka para sahabat berijtihad dengan menggunakan qaidah-qaidah yang berdasar al-Qur’an dan hadits.[[30]]

Sumber-sumber Legislasi pada Masa Khulafaur al-Rasyidin
1.      Al Qur’an
Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului al-Qur’an dalam menetapkan hukum, karena al-Qur’an adalah sumber pertama bagi pembentukan akidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa. Jika ada masalah yang muncul dan memang ada hukumnya serta kandungan dalilnya tepat maka mereka akan mengambil ayat ini tanpa bermusyawarah dengan siapa pun dan tidak ada perbedaan sama sekali diantara mereka dalam hal ini.[[31]]

2.      As-Sunnah
Para sahabat selalu mengacu kembali kepada As-Sunnah dalam menginstinbat hukum manakala tidak menemukan nash dalam al-Qur’an, karena As-Sunnah adalah sumber kedua bagi perundang-undangan Islam setelah al-Qur’an. Adapun cara sahabat dalam mengamalkan sunnah pada zaman ini adalah jika ada hadits dan perawinya bisa dipercaya, atau tidak ada yang menentangnya maka dalam keadaan ini mereka tidak akan ragu menerima dan berfatwa dengannya.[[32]]

3.      Ijma’
Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid dari umat nabi Muhammad, dalam satu zaman tentang satu masalah syariat. Ijma’ harus berasal dari kesepakatan semua mujtahid, jika hanya sebagaian ulama saja tidak dianggap ijma’. Para sahabat biasanya tidak mengikat dirinya dengan hasil ijma’ kecuali jika ijma’ itu lahir dari semua orang yang diperhitungkan. [[33]]

4.      Ijtihad
Pada masa Khulafaur Rasyidin, mereka tidak memberi fatwa terhadap masalah yang tidak ada nashnya kecuali setelah disampakan kepada para ahli ilmu dan rayi; dari kalangan sahabat, masing-masing mempunyai orang-orang khusus untuk dimintakan pendapatnya dalam masalah-masalah seperti ini dan yang lainnya, termasuk masalah politik dan pemerintahan. Bahkan mereka mengumpulkan para hakim untuk diajak bermusyawarah memutuskan masalah yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.[[34]]

Ada tiga hal pokok yang menjadi sebab lahirnya ijtihad tersebut, yakni :

1.        Timbulnya masalah-masalah yang secara lahiriah telah diatur ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah, dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pehamahan baru agar selalu relevan dengan perkembangan dan persoalan baru yang dihadapi.
2.        Munculnya berbagai persoalan baru, yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an maupun sunnah.
3.        Dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian tertentu, para sahabat akan menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.[[35]]

Perkembangan Hukum Pada Masa Khulafaur Rasyidin

1.      ABU BAKAR
Abu bakar dipilih secara demokratis untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Abu Bakar memerintah selama tiga tahun. Selama pemerintahannya pula ia disibukkan menumpas kaum murtad, nabi palsu Musailamah al’Kazzab, dan penumpasan mereka yang enggan membayar zakat. Tidak banyak masalah hukum yang ditorehkan dalam sejarah pada masa pemerintahan Abu Bakar ini dengan alasan :
v  Masa pemerintahan Abu Bakar yang singkat, yakni hanya tiga tahun.
v  Konsentrasi pemerintahan terkuras pada pemberantasan pemberontak.
v  Kehidupan para sahabat pada masa itu belum terlalu kompleks sehingga tidak banyak masalah yang timbul.
v  Semangat keimanan dan keislaman pada waktu itu masaih sangat tinggi. Sehingga jika terjadi masalah mereka lebih sabar dan bertoleransi.

Masalah hukum yang terekam dalam sejarah periode pemerintahan Abu Bakar adalah masalah kewarisan. Permasalahan lain adalah ketika terjadi pertentangan dari sebagian umat Islam untuk membayar zakat. Abu Bakar memerintahkan untuk membunuh para pemberontak ini karena dianggap telah murtad. Selain dari praktik diatas, Abu bakar selalu mengajak bermusyawarah para sahabat ketika menghadapi suatu maslah hukum, terutama kepada sahabat besar. Metode yang dilakukan oleh Abu Bakar inilah yang kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah selanjutnya.[[36]] Dan yang menjadi hakim pada waktu itu adalah Umar bin Khattab dimana para sahabat enggan berhadapan denggannya.

2.      UMAR BIN KHATTAB
Umar ibn Khattab terpilih sebagai khalifah berdasarkan sistem formatur dan atas rekomendasi dari Abu Bakar. Umar memerintah sebagai khalifah selama 13 tahun. Dibidang peradilan Umar menjadikan lembaga peradilan sebagai garda terdepan dalam pembangunan. Pengadilan pada periode itu sudah teratur dengan adanya penunjukan qadhi dan pengajian hakim dan pegawai. Umar membuat hukum acara peradilan (Risalah qada Umar ibn Khattab). Para qadhi pada masa itu juga digaji dengan tetap.[[37]]
Dasar-dasar landasan hukum Umar adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Ijtihad. Dalam hal Ijtihad Umar ibn Khattab sangan terkenal dengan ijtihadnya yang sangat inovatif, aktual dan memberikan solusi terhadap masalah baru yang muncul karena proses asimilasi kulturasi dalam masyarakat.
Di antara ijtihad-ijtihad Umar bin Khattab adalah :
v  Jatuhnya talak tiga sekaligus dalam suatu majelis. Umar menetpkan ijtihad tersebut setelah melihat permasalahan dilapangan yaitu banyak orang menjatuhkan dan mempermainkan talak.[[38]]

v  Perempuan yang menikah pada waktu Iddah. Perkawinan itu dibatalkan dan dianggap tidak syah. Perempuan itu harus mengulang masa iddah dan laki yang menikahinya saat masa idah haram menikahi perempuan tersebut untuk selamanya.

v  Tentang Ghanimah (Harta rampasan perang) pada masa pemerintahan Umar hanya dibagikan harta bergerak saja. Harta yang tidak bergerak seperti tanah tidak dibagi-bagikan seperti yang dipraktekan Nabi, akan tetapi tanh itu tetap dibiarkan berada ditangan penduduk setempat dengan mewajibkan pajak.[[39]]
Hal ini untuk mencegah kecemburuan sosial akibat kemungkin ketidakadilan pembagian harta secara adil. Apabila harta itu dibagikan dikhawatirkan motivasi umat Islam dalam berperang berubah dari jihad fi sabilillah menjadi mencari rampasan perang.

v  Potong Tangan bagi pencuri. Umar ibn khattab tidak melaksanakan hukum potong tangan bagi pencuri sesuai yang telah ditetapkan al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena situasi dan kondisi pada saat itu sedang mengalami musim paceklik sehingga menyebabkan orang terpaksa mencuri untuk makan.

v  Shalat Tarawih. Pada masa nabi, shalat tarawih dikerjakan sendiri dan dilakukan sebanyak sebeles rakaat. Kemudian pada masa Umar menjalankan shalat tarawih secara berjamaah, sedangkan jumlah rakaat pada waktu itu adalah 23 rakaat.[[40]]

3.      UTSMAN BIN AFFAN
Utsman bin Affan naik menjadi khalifah menggantikan Umar bin Khattab lewat prosedur formatur. Kemajuan paling kentara yang didapatkan pada masa pemerintahan adalah perluasan wilayah. Pada masa Utsman peradilan sudah memiliki bangunan tersendiri terpisah dengan masjid.
Pemikiran Utsman bin Affan adalah sebagai berikut :

1.      Azan jumat dua kali. Ini berbeda dengan zaman Nabi yang paada saat itu hanya satu kali. Alasan utsman menggunakan dua azan karena wilayah Islam yang semakin luas, sehingga beliau beranggapan azan satu kali tidak cukup dan merata ke seluruh wilayah.

2.      Unta yang kabur pada zaman nabi, Abu Bakar dan Umar dilepas begitu saja. Akan tetapi pada masa Utsman dijual, dan apabila pemiliknya datang maka uang itu diberikan.

3.      Istri yang diceraikan saat suaminya sakit keras kemudian meninggal. Istri tersebut mendapatkan bagian warisan baik masih dalam masa iddah ataupun tidak. Berbeda dengan zaman Umar yang hanya pada masa iddah saja.[[41]]

4.      ALI BIN ABI THALIB

Setelah Utsman meninggal karena ditikam oleh para pemberontak. Maka Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Pada masa Ali ini banyak terjadi perseteruan dengan keluarga Utsman yang dipimpin Muawiyah bin Sufyan. Meskipun pertempuran keduanya diakhiri dengan abitrase (cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian /arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa).
Adapun hasil ijtihad Ali bin Abi Thalib adalah :

1.      Iddah perempuan hamil yang ditinggal suaminya adalah waktu paling panjang antara iddah 4 bulan 10 atau melahirkan. Sedangkan pada masa Umar iddahnya sampai melahirkan.

2.      Pada zaman Ali untuk mempermudah orang awam mempelajari al-Qur’an maka dirancang simbol baca yang berbentuk titik atas, disamping dan dibawah huruf.

3.      Hukuman bagi pemabuk. Sebelum masa Ali hukuman bagi pemabuk adalah 40 kali cambukan. Akan tetapi pada periode Ali hukuman itu ditingkat dua kali lipat menjadi 80 kali. Karena Ali beranggapan hukuman 40 kali belum cukup membuat jera para pemabuk.[[42]]

B.     SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

a.      PENGERTIAN
Secara etimologi pemikiran berasal dari kata dasar “Pikir” yang berarti proses, cara, perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijak. Sedangkan secara terminology, menurut Mohammad Labib An-Najihi, pemikiran pendidikan Islam adalah aktivitas pemikiran yang teratur dengan menggunakan metode filsafat.[[43]]
Melihat definisi tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pemikiran Pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah pradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan secara paripurna.[[44]]
Namun secara khusus filsafat (pemikiran) pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam. Pengetahuan demikian diharapkan menjadi pengetahuan yang bersifat universal dalam arti jangkauan waktu dan wilayah keberlakuannya relatuf lama dan luas.[[45]]



b.      FAKTOR KEMUNCULAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Adapun faktor-faktor kemunculan pemikiran dalam pendidikan islam adalah sebagai berikut:

1.      Faktor kebutuhan pragmatisme umat Islam yang sangat memerlukan satu sistem pendidikan Islam yang betul-betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, beriman kepada Allah. Agama Islam sendiri melalui ayat Al-qur’an banyak menyuruh atau menganjurkan umat Islam untuk selalu berfikir, membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita lihat.

2.      Adanya kebutuhan umat akan kemajuan dan perbaikan nasib dirinya bisa dikatakan sebagai faktor penentu timbulnya proses pembaharuan pendidikan dalam Islam. Disamping agama Islam sendiri melalui al-Qur’an, sebagai sumber ajaran: banyak manganjurkan kepada umatnya untuk melakukan pembaharuan di segala bidang.

3.      Adanya kontak Islam dengan Barat, yang merupakan faktor penting yang bisa kita liat, adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan paradigma umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada Barat, sehingga ketertinggalan-ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir. Timbulnya pemikiran pendidikan Islam baik dalam bidang agama, sosial, dan pendidikan diawali dan dilatar belakangi oleh pemikiran Islam yang timbul di belahan dunia Islam lainnya, terutama diawali oleh pembaharuan pemikiran islam yang timbul di Mesir, Turki, dan India. Latar belakang pembaharuan yang timbul di Mesir di mulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir.[[46]]

1.      SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW

Dalam catatan sejarah, eksistensi pendidikan Islam telah ada sejak Islam pertama kali diturunkan .Ketika Rasulullah mendapat perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam, maka apa yang dilakukan, jelas masuk dalam kategori pendidikan. Kepribadiannya merupakan wujudan ideal Islam tentang seorang guru dan pendidik. Dalam Al-Qur’an, ayat yang pertama kali diturunkan Allah berhubungan langsung dengan pendidikan .Surah Al-‘Alaq jelas mengandung nilai filosofi yang menjadi dasarkegiatan pendidikan.Hal tersebut menunjukkan penekanan dan pandangan Al-Qur,an terhadap pentingnya ilmu pengetahuan . Ketika di Mekah, proses pendidikan Islam dilakukan Nabi Muhammad dan para sahabat di Darul Arqam, sebagai pusat pendidikan dan dakwah.
Di Madinah proses pendidikan dilakukan di Masjid, yang mana di dalam Masjid tersebut terdapat suffah yang berfungsi sebagai tempat pendidikan dan tempat tinggal bagi pendatang yang datang ke Madinah.[[47]]
Kebijakan lain yang dilakukan oleh Nabi dalam memajukan pendidikan Islam dalah melalui pemanfaatan para tawanan perang badar .Sejumlah tawanan yang mampu menulis dan membaca akan dilepaskan Rasul bila ia mengajari sepuluh anak-anak muslim menulis dan membaca. Pada era tersebut lembaga pendidikan islam bernama kuttab, yang berfungsi sebagai tempat pengajaran pokok-pokok agama dan tulis baca.[[48]]

2.      SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA SAHABAT

Setelah Rasul Wafat perkembangan ilmu pengetahuan pun terus berkembang,yang mana terus di kembangkan oleh para kahlifah dan sahabat lainnya.Namun para sahabat pada masa itu mengalami kesulitan, tapi berkat ajaran yang ditinggalkan oleh Rasul, para sahabat dapat melewati kesulitan tersebut, sehingga pada saat itu kehidupan dimasa rasul seakan-akan terulang kembali.Pemikiran pendidikan Islam masih tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist Rasul sebagai sumber utama rujukan pendidikannya.Tidak ada pemikiran baru pada masa tersebut, kecuali hanya sedikit bercampur dengan filsafat yunani.Akan tetapi sangat terbatas dan pengaruhnya sangat sedikit, sebagian besar berkisar pada logika bukan filsafat dalam pengertian yang luas seperti masa-masa sesudah khulafaurrasyidin.[[49]]
3.      SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA
BANI UMAYYAH

Pada masa Umayyah pemikiran pendidikan Islam memasuki babak baru, dimana kstabilan politik telah dirasakan oleh negri –negri Islam .Oleh karena itu, tidak heran jika perhatian orang-oarang Islam sudah mengarah pada masalah kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan peradaban- peradaban baru .Dalam waktu yang sama mereka memberikan perhatian besar pada ilmu bahasa, sastra, dan agama untuk memelihanya dari pikiran – pikiran luar. 
Pemikiran pendidikan Islam pada masa ini juga tersebar pada beberapa tulisan ahli Nahwu, sastra, hadist, dan tafsir.Pada masa ini para ahli tersebut mulai mencatat ilmu-ilmu bahasa, sastra dan agama untuk menjaga agar tidak diseludupkan pikiran-pikiran lain dan perubahan yang akan merusaknya.[[50]]

4.      SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA
ABBASYAH

Sedangkan perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada masa Abbasiyyah merupakan masa keterbukaan terhadap kebudayaan dan peradap peradapan asing seluas-luasnya. Sehingga bermunculanlah para pemikir-pemikir baru, seperti munculnya empat imam mazhab terkenal dibidang ilmu fiqih yakni Imam Abu Hanifah(80-150 H), Imam Malik (95-179 H), Imam Asy-Syafi’i(150-204 H) dan Imam Hanbali (164-241 H).Selain dari itu muncul pula pengumpul hadits yang sangat mashur yakni Imam AL-Bukhari (194-256 H).
Perkembangan tersebut dalam sejarah Islam dikenal dengan masa “keemasan”, karena pada saat itu ilmu-ilmu akal sudah mulai masuk dan bermunculan, pembinaan sekolah –sekolah, dan timbulnya pemikiran pendidikan yang istimewa.Selain dari itu penerjemahan terhadap buku-buku filsafat yunani kedalam bahasa arab sangat gencar dilakukan, begitupun dengan buku-buku budaya lain, seperti Persia, India, sehingga dalam waktu 150 tahun hampir semua ilmu pengetahuan yang ada sudah dibukukan kedalam bahasa Arab.[[51]]

C.    SEJARAH PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM
Menurut Harun Nasution, persoalan yang pertama muncul sehingga lahir perdebatan dalam bidang kalam atau teologi adalah persoalan politik. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi.[[52]] Teologi Islam atau ilmu kalam atau istilah-istilah lain, dikenal sebagai ilmu keislaman yang berdiri sendiri, yakni pada masa Khalifah al-Makmun (813-833) dari bani Abbasiyah. Sebelum itu pembahasan terhadap kepercayaan Islam disebut al-fiqhu fi al- ddin sebagai lawan dari al-fiqhu fi al-‘ilmi.[[53]]

1.      Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Masa Rasulullah SAW.
Timbulnya aliran teologi dalam agama Islam berawal dari wafatnya Nabi Muhammad SAW dan juga berawal dari permasalahan persoalan-persoalan politik setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Bahkan teologi atau ilmu kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad maupun pada zaman sahabatnya.[[54]]
Persoalan politik yang kelak meningkat menjadi persoalan teologi belum terjadi pada masa ini. Meskipun pada masa ini islam telah bersinggungan dengan politik. Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah penyebaran islam di Hijaz, baik pada periode Mekah maupun pada periode Madinah. Ketika di Mekah, Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi sebagai kepala agama dan tidak mempunyai fungsi sebagai kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Kekuasaan politik di kota ini terletak dalam tangan pedagang tinggi. Sebaliknya di Madinah, Nabi Muhammad SAW menjadi kepala agama sekaligus kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini karena sebelum itu tidak ada kekuasaan politik di kota ini.[[55]]

2.      Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Khulafāurrāsyidin
Ketika Nabi Muhammad SAW. Wafat pada tanggal 12 Rabiul awwal tahun 11 H/632 M daerah kekuasaan Madinah tidak hanya terletak pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung Arabia. Negara Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W. M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang telah mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekah sebagai intinya. Jadi, tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan persoalan kedua bagi mereka. Timbullah soal khilāfah, soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Sebagai Nabi atau Rasul, tentu tidak dapat digantikan.[[56]]
Kendatipun Rasul SAW tidak menunjuk seorang khalifah (pengganti) beliau namun tokoh-tokoh dalam masyarakat muslim mengetahui benar-benar bahwa islam menuntut adanya kekhalifaan yang didasarkan atas musyawarah. Tidak satu keluarga pun memonopoli pemerintahan, tidak seorang pun merampas kekuasaan dengan kekuatan atau paksaan, dan tidak seorang pun yang memuji dirinya atau memaksakan dirinya untuk mencapai kedudukan khalifah. Rakyat pada saat itu dengan sukarela telah memilih empat sahabat Nabi untuk diangkat sebagai khalifah. Sejarah meriwayatkan bahwa perdebatan yang lumayan sengit terjadi antara kaum Anshar dan Muhajirin dalam hal siapa yang berhak menjadi khalifah, akhirnya mereka sepakat mengankat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai kepala Negara atau khalifah yang pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar Bin Khattab.[[57]]
Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar kondisi politik relatif stabil. Politik yang kelak menjadi persoalan teologi pada masa ini belum terjadi. Hal ini dikarenakan pada masa ini umat muslimin sibuk berperang melawan kaum muslimin yang murtad dengan mengikuti ajaran Musailamah al Kazzab yang mengaku sebagai Nabi dan berperang melawan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat pada waktu itu. Sedangkan pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, umat islam sibuk melakukan ekspansi ke berbagai negeri, sehingga mereka tidak sempat memperdebatkan masalah-masalah teologi. Ekspansi yang dilakukan umat islam pada waktu itu seperti ke Persia, Syam, syiria, Palestina, Mesir, dan turki.
Setelah Umar wafat akibat ditikam ketika memimpin shalat, dia digantikan oleh Usman Bin Affan sebagai khalifah. Usman termasuk golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk dalam kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar Bin Khattab, khalifah yang terkenal sebagai khalifah yang kuat dan tidak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.[[58]]
Tindakan politik yang dijalankan oleh Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan baginya. Sahabat-sahabatnya yang pada mulanya menyokong Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau ingin calonnya menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-daerah. Dari Mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya Amr Bin Ash yang digantikan oleh Abdullah Bin Sa’ad Bin Abi Sahr, salah satu anggota keluarga Usman, sebagai gubernur Mesir, lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergarak menuju Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.[[59]]

Setelah Usman wafat, Ali menggantikannya menjadi khalifah. Tetapi segera pula ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah. Terutama Talha dan Zubair dari Mekah yang mendapat sokongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah ini berhasil dipatahkan oleh Ali pada perang Jamal yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talha dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikembalikan ke Mekah. Selanjutnya akibat persoalan politik yang menyangkut pembunuhan Usman Bin Affan, berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali Bin Abi Thalib. Mu’awiyah sendiri adalah gubernur Damaskus dan merupakan keuarga terdekat Usman. Mu’awiyah menuduh Ali sebagai salah satu orang yang turut ikut campur dalam pembunuhan Usman. Ketegangan antara keduanya mengkristal menjadi perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkīm (arbitrase).[[60]]
Pada peperangan tersebut pasukan Mu’awiyah berhasil dipukul mundur. Tetapi dengan kelicikan salah satu tangan kanan Mu’awiyah yaitu Amr Bin Ash, meminta berdamai dengan mengangkat al- Qur’an ke atas. Ali pun menerima ajakan perdamaian itu atas desakan para Qurra  yang ada dipihaknya. Maka dicarilah jalan perdamaian dengan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Bin Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr Bin Ash mengalahkan perasaan takwa Abu Musa al Asy’ari.
Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa sebagai yang tertua yang terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan tersebut. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Bin Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan oleh Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah.[[61]] Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Ali tetap menjadi khalifah yang legal, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali dan tidak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh pada tahun 661 M.[[62]]
Sikap Ali yang menerima ajakan tersebut, sungguhpun berada dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi pada saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari  Allah  dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al- Qur’an. Menurut mereka la hukma illa lillāh (tidak hukum selain hukum Allah) atau la hakama illa allāh (tidak ada pengantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.  Di luar pasukan Ali yang membelot ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kelak disebut Syiah. Akhirnya, setelah terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib pada peristiwa ini, maka berakhir pula masa pemerintahan khulafāurrāsyidin.[[63]]

3.      Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Pasca Khulafāurrāsyidīn

Setelah berakhirnya masa pemerintahan khulafāurrāsyidin, perpecahan dikalangan umat Islam semakin meruncing. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya akhirnya membawa pada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang masih ada dalam Islam dan siapa yang telah keluar dari Islam.
Kaum Khawarij memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa al Asyari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Hal ini menurut mereka sesuai dengan firman Allah Q.S. al- Maidah: 44, yang artinya:
 “barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Ayat inilah yang mereka jadikan semboyan. Karena empat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali Bin Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya. Lambat laun kaum Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum berdasarkan al- Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kabair atau capital sinners, juga dipandang kafir. Persoalan berbuat dosa besar inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya teologi dalam Islam. Persoalannya ialah masihkah bisa dipandang mukmin atau sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ? Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah kafir. Dinyatakan keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh.[21] Ada juga diantara kaum khawarij yang bersifat netral. Mereka memberi dukungan kepada Ali dalam peperangan, bukan kepada lawan-lawannya.[[64]]
Selanjutnya aliran Syiah yang fanatik kepada Ali dan keturunannya. Mereka berpendapat bahwa tidak seorang pun yang berhak memegang kekhalifaan kecuali keturunan Ali. Kalau ada yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak kekuasaan. Kekhalifaannya tidak sah. Tetapi akhirnya partai ini dimasuki pula anasir-anasir yang bukan-bukan, yang menyimpang dari pokok agama.[[65]]
Kaum Syiah berkeyakinan bahwa khilāfah dan imamah ditetapkan berdasarkan atas pencalonan dan penunjukan, baik tertutup maupun terbuka. Mereka juga mempertahankan bahwa imāmah itu harus tetap berada pada keluarga Ali; jika imāmah itu pernah berada di luar keluarga Ali, hal itu disebabkan sebuah kekeliruan pada pihak lain atau karena taqiyyah dipihak imam yang benar.
Menurut mereka, imāmah bukanlah masalah sipil yang secara sah diselesaikan dengan kehendak rakyat lewat penunjukan seorang imam berdasarkan atas pilihan mereka sendiri. Imāmah adalah masalah fundamental dan merupakan sebuah elemen dasar dari suatu agama. Para utusan Allah tidak boleh mengabaikan atau tidak memperdulikan, apalagi menyerahkannya pada pilihan rakyat kebanyakan.[[66]] Selanjutnya aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang diperbuatnya, terserah kepada Allah swt. Untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Mereka memandang perbuatan-perbuatan itu bersifat sekunder daripada niat dan ketetapan hati.[[67]]
Selanjutnya aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berbuat dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin.  Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah al manzila baina al manzilatain (posisi di antara dua posisi). Mu’tazilah sendiri adalah aliran yang bercorak rasional dan cenderung liberal. Pemikiran mereka ini tidak lain karena dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani klasik yang sangat mengagungkan akal pikiran. Hal ini didapatkan dari penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam Bahasa Arab. Bahkan aliran ini pernah menjadi mazhab resmi Negara, yaitu pada masa pemerintahan khalifah al Ma’mun (813-833 M). Namun, pada masa pemerintahan khalifah al Mutawakkil di tahun 856 M, mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan. Dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali pada kedudukan mereka semula. Tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang tidak sedikit dari kalangan umat Islam.[[68]]
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran yang terkenal dalam teologi dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Jabariyah sebaliknya berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut paham Jabariyah bertindak atas paksaan dari Tuhan. Segala gerak geriknya ditentukan oleh Tuhan.
Kemudian bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu Hasan al Asy’ari (935 M). al Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang mu’tazilah, kemudian beliau keluar lalu mendirikan aliran baru yang terkenal dengan nama Asy’ariyah. Di samping aliran Asy’ariyah timbul pula aliran di Smarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al Maturidi (w. 944 M). kemudian aliran ini terkenal dengan nama Maturidiyah. Kedua aliran tradisionil ini sama-sama menentang ajaran yang dipahami oleh aliran Mu’tazilah. Selain keduanya ada pula aliran tradisionil yang juga menentang paham Mu’tazilah. Mereka adalah pengikut-pengikut mazhab Hambali dan pengikut-pengikut dari Abu Hanifah yang dibawa oleh al Tahawi (w. 933) dari Mesir. Tetapi ajaran al Tahawi tidak menjelma menjadi ajaran teologi dalam Islam.[[69]]
Dengan demikian, aliran-alian teologi penting yang timbul dalam Islam adalah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. aliran Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut Ahl Sunnah wa al Jama’ah . Aliran Maturidiyah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariyah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dalam dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali dikalangan intelegensia Islam yang mendapatkan pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.[[70]]




















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi penjelasan) juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan kurang bahkan tidak reaksi dalam masyarakat. Pada zaman Nabi, hukum atau penetapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu. Hukum Islam pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan Nabi yang nampak pada tindakan-tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.

2.      Pada periode Pemikiran Hukum Islam Masa Khulafaur Rasyidin, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih menggunakan sumber legislasi yang digunakan pada masa ini adalah: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Ijtihad.

3.      Pemikiran Pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah pradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan secara paripurna.

4.      Sejarah pemikiran pendidikan islam membahas tentang kondisi pendidikan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW (periode mekkah dan madinah), masa para sahabat, masa bani umayyah dan abbasyah.

5.      Lahirnya teologi dalam islam itu bukanlah persoalan yang berbasiskan persoalan teologi, namun didasari atas persoalan politik. Permasalahan politik tersebut dalam perjalanannya beranjak menjadi permasalahan teologi yang terjadi setelah Rasulullah wafat. Setelah Rasulullah wafat di tahun 632 M terjadilah pergantian dan perebutan kekuasaan yang terus menerus, sebagai penggantinya baginda Rasulullah SAW. Pergantian tersebut dimulai dari Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, dan Mu’awiyah.
Dalam Pergantian kedudukan dari khalifah Ali Ibn Abi Thalib ke Mu’awiyah, maka disinilah awal timbulnya persoalan politik  karena adanya kecurangan yang dilakukan oleh Mu’awiyah. Karena adanya kecurangan inilah maka timbullah klaim kafir dan bukan kafir yang akhirnya melahirkan golongan-golongan teologi dalam islam, seperti khawarij, murji’ah, mu’tazilah, qadariyah dan jabariyah, serta ahli sunnah wal jama’ah.

DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi M.A., Pengantar Theology Islam (Cet. II;  Jakarta: P.T. JAYAMURNI, 1974),
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009),
Abdul al-Salam Bilaji, “Tathawwur Iim Ushul al-Fiqh..” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010),

Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993),
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), 

Abdul Wahab Khallaf, Khulafah Tarikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),

Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Juz II (Cet. I; Kairo: Musthatfa al-bab al- Halabi, 1952), lihat juga Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Juz I (Beirut: Dar-al-Fikr, 1967),

Abuddin Nata.2011. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Pranada Media Group),
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983),
Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004),

Ali Yafie, Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995),
Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasaan dan Keadilannya,(Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1987),

Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990),
Gazali suyuti, Maslahat Mursalah dan Pengembangan Hukum Islam: Studi terhadap Metode Ijtihad Umar bin Khattab, Ar-Risalah, (Tahun IV No 2/ November 2004),

Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),

Hasan Langgulung,  Asas-asas Pendidikan Islam, ( Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1992),
http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/30/masa-pembaharuan-pendidikan-islam-2/
http://wawasansejarah.com/sejarah-pemikiran-hukum-islam/
https://enthutuk.wordpress.com/2016/05/13/sejarah-pemikiran-pendidikan-islam/
https://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/23/perkembangan-pemikiran-hukum-islam/
Manna’ al al-Qhattan, “Tarikh Tasyri’ al-Islami, ” dalam  Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010),

Mansur, Peradaban Islam dan Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004),

Muhammad Ali al-Sayyis, “tarikh tasyri’,” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010),

Muhammad Salam Madkur, Mana hij Al Ijtiha al-Islam (Kuwait : Univ. Kuwait),
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj, Nadirsyah Hawari ( cet.1, Jakarta; Bumi Aksara, 2010),

Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Press,Cet. 2, 2012),

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010),
Shufiy Hasan Abu Thalib, Tathbiq al-Syari’at al-Islamiyat fi al-Baladi al-Arabiah (Cairo : Dar al Nahdah al-Arabiah, t.th.),

T.M Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan hukum Islam (cet.1;Jakarta;Bulan Bintang.1971M, )

Taib Thahir Abd. Muin, ILMU KALAM (Cet. II; Jakarta: Penerbit Widjaya, 1973),
Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Vol. 1; Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) ,
Yayan Sopyan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010),




[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 15
[2] Mansur, Peradaban Islam dan Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), h. 7
[3] https://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/23/perkembangan-pemikiran-hukum-islam/
[4] T.M Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan hukum Islam(cet.1;Jakarta;Bulan Bintang.1971M, h.15)
[5] T.M Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan hukum Islam,……….. hal. 16
[6] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), h. 87-90.
[7] Muhammad Ali al-Sayyis, “tarikh tasyri’,” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm.54
[8] Yayan Sopyan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm.54
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Legislasi Islam, terj.A. Sjinqithy Djamaluddin (cet.1, Surabaya; AL-IKHLAS, 1994), hlm.18
[10] Q.S. Al-Baqarah (2): 219,
[11] Q.S. Al-Kafirun (109): 1-6.
[12] Q.S. Al-Baqarah (2): 185.
[13] Q.S. Al-Maidah (5): 101-102.
[14] Q.s. 2:222
[15] Q.s. 2:218
[16] Q.s. 16:67, Q.s. 2:219, Q.s. 4:43
[17] T.M Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan hukum Islam…, hlm.17-18
[18] Legislasi atau undang-undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur ketahanan yang lainnya. Sebelum disahkan, undang-undang disebut sebagai rancangan Undang-Undang.
[19] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Legislasi Islam,……….., hlm.22
[20] Muhammad Salam Madkur, Mana>hij Al Ijtiha al-Islam (Kuwait : Univ. Kuwait), h. 43.
[21] Abdul Wahab Khallaf, Khulafah Tarikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 11.
[22] Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Vol. 1; Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) , h. 624.
[23] Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu> Daud, Juz II (Cet. I; Kairo: Musthatfa al-bab al- Halabi, 1952), h. 272 lihat juga Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Juz I (Beirut: Da>r-al-Fikr, 1967), h. 157.
[24] Abdul Wahab Khallaf, Khulafah Tarikh Tasyri’ al-Islami …………………..h. 14.
[25] Lihat, Shufiy Hasan Abu Thalib, Tathbiq al-Syari’at al-Islami>yat fi> al-Baladi al-Arabi>ah (Cairo : Dar al Nahdah al-Arabi>ah, t.th.), h. 27
[26] Gazali suyuti, Maslahat Mursalah dan Pengembangan Hukum Islam: Studi terhadap Metode Ijtihad Umar bin Khattab, Ar-Risalah, (Tahun IV No 2/ November 2004), h. 91
[27] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm.66-hlm.67
[28] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, ……….hlm.64
[29] Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasaan dan Keadilanny, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 45
[30] http://wawasansejarah.com/sejarah-pemikiran-hukum-islam/
[31] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj, Nadirsyah Hawari ( cet.1, Jakarta; Bumi Aksara, 2010), hlm.63.
[32] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, …………………………….., hlm.65.
[33] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, …………………………….., hlm.67.
[34] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, …………………………….., hlm.68-69.
[35] Manna’ al al-Qhattan, “Tarikh Tasyri’ al-Islami, h. 193-194.” dalam  Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm.86)
[36] Abdul al-Salam Bilaji, “Tathawwur Iim Ushul al-Fiqh, h.30.” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), h.86
[37] http://wawasansejarah.com/sejarah-pemikiran-hukum-islam/
[38] Yayan Sopyan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam,………………….,hlm.90-91
[39] Ali Yafie, Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm.43
[40] Yayan Sopyan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam,………………….,hlm.92-93
[41] Yayan Sopyan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam,………………….,hlm.94
[42] http://wawasansejarah.com/sejarah-pemikiran-hukum-islam/
[43] A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 2-3
[44] Hasan Langgulung,  Asas-asas Pendidikan Islam, ( Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1992),hlm. 120
[45] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), hlm. 74
[46] http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/30/masa-pembaharuan-pendidikan-islam-2/
[47] Abuddin Nata.2011. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Pranada Media Group) hal. 71- 142
[48] Abuddin Nata,  Sejarah Pendidikan Islam, …………………………………….,  hlm. 145
[49] https://enthutuk.wordpress.com/2016/05/13/sejarah-pemikiran-pendidikan-islam/
[50] https://enthutuk.wordpress.com/2016/05/13/sejarah-pemikiran-pendidikan-islam/
[51] Abuddin Nata,  Sejarah Pendidikan Islam, …………………………………….,  hlm. 147-151
[52] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986), h. ix.
[53] Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Press,Cet. 2, 2012), hal. 3
[54] Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 31. Lihat Juga A. Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta:  P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 18.
[55] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 3
[56] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 4
[57] Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 32.
[58] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 5
[59] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 6
[60] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001),  h. 27
[61] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 7
[62] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 8
[63] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001),  h. 28
[64] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 9
[65] Taib Thahir Abd. Muin, ILMU KALAM (Cet. II; Jakarta: Penerbit Widjaya, 1973), h. 92.
[66] Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 225.
[67] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 7
[68] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 8-9
[69] A. Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta: P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 20.
[70] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan,………….., h. 10

No comments:

Post a Comment

Makalah QS At Tin

BAB I PENDAHULUAN 1.1.        Latar Belakang Al-Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada nabi kita Muhammad.Saw se...