BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sejarah
berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa
depan. Dalam perjalanan sesuatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan
pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Di samping itu, mempelajari
sejarah yang sudah berjalan cukup panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan
jika dibagi ke dalam beberapa babakan di mana setiap babakan merupakan satu
komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan satu kebulatan untuk
satu jangka waktu. Rangkaian inilah yang dinamakan periodesasi sejarah.[[1]]
Sejak
awal perkembangannya, Islam tumbuh dalam pergumulan dengan pemikiran dan
peradaban umat manusia yang dilewatinya dan karena terlibat dalam proses
dialektika yang di dalamnya terjadi pengambilan dan pemberian. Dari kebudayaan
Arab, Islam telah mengambil, memelihara dan mengembangkan beberapa hal seperti
sistem moral, tata pergaulan dan hukum keluarga, serta sistem politikpun
diambil dari kebudayaan Arab. Sebaliknya, Islam memberikan kemungkinan bagi
sastra Arab untuk berkembang mengatasi perkembangannya pada masa sebelumnya
Al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa Arab dan
bangsa-bangsa yang memeluk Islam pandangan dunia, tujuan hidup, peribadatan dan
sebagainya yang kemudian merupakan bagian utama dari pemikiran dan peradaban
Islam. Itu semua didukung oleh kreativitas umat Islam sendiri yang memang
diberi ruang yang luas untuk bergerak[[2]]
Dengan
demikian dalam perspektif sejarah, perkembangan pemikiran dan peradaban Islam
mulai pada zaman Nabi Muhammad Saw dan Para Sahabat, terkhusus pada zaman
Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin,
Islam berkembang dengan pesat di mana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir
dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Perkembangan Islam pada zaman inilah
merupakan titik tolak perubahan peradaban ke arah yang lebih maju. Secara garis
besarnya, sejarah pemikiran dan peradaban Islam ini mendeskripsikan perjalanan
panjang dialektika intelektual muslim, yang memberikan interpretasi wahyu dalam
konteks ruang dan waktu. Hasil tradisi intelektual dan epistemologi menjadi
alur peradaban Islam sepanjang sejarah.
Menyadari
hal di atas, bidang kajian pemikiran Islam dalam perspektif sejarah merupakan
suatu bidang kajian yang menarik untuk dipelajari. Untuk itu sebagai kerangka
awal dalam makalah ini dicoba dibahas tentang sejarah pemikiran hukum Islam,
sejarah pemikiran pendidikan Islam dan sejarah pemikiran teologi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
1.
PEMIKIRAN HUKUM
ISLAM PEROIDE I
(PERIODE
RASULULLAH SAW)
Sebelum nabi Muhammad
SAW diangkat menjadi rasul, kondisi bangsa Arab pada saat ini tidak semata-mata
didasarkan pada syariat sebagai kehendak Tuhan yang transenden, namun juga didasarkan
pada realitas sosial, maka perlu dipahami ciri-ciri utama tatanan bangsa Arab
pra Islam, sebagai berikut:
1.
Menganut
paham kesukuan.
2.
Memiliki
tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas;
faktor keturunan lebih penting dari pada kemampuan.
3.
Mengenal
hierarki sosial yang kuat
4.
Kedudukan
perempuan cenderung direndahkan.[[3]]
Mereka hanya mempunyai
beberapa ketentuan yang mereka pergunakan dalam menyelesaikan pertengkaran.[[4]]
Demikianlah keadaan hukum dan perundang-undangan masa sebelum Nabi diangkat
menjadi Rasul.
Pada periode setelah
nabi diangkat menjadi Rasul, Allah SWT menugaskan Rasul yang bertujuan untuk :
1.
Memperbaiki
keadaan akhlak manusia dengan cara menanamkan kedalam diri manusia untuk selalu
berkelakuan baik dan menjauhi larangan Allah.
2.
Memperbaiki
aqidah umat manusia yang terlah terlanjur sangat rusak, dengan cara menanamkan
benih-benih ajaran tauhid.
3.
Menetapkan
aturan-aturan pergaulan hidup, aturan-aturan muamalah sesama anggota masyarakat
untuk mewujudkan kemakmuran dengan cara menaati tasyri’.[[5]]
Islam datang kepada
umat manusia oleh seorang Rasul yang diutus untuk memperbaiki kondisi bangsa
Arab yang pada masa itu menyembah berhala, system masyarakat yang kacau balau.
Pada awalnya Rasulullah sangat hati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami cukup
banyak hambatan dan halangan yang dilakukan oleh suku quraisy pada saat itu.
Menurut Ahmad Syalabi,
ada lima factor yang menyebabkan orang Quraisy termotivasi untuk menentang
seruan Islam tersebut:
1.
Mereka
tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
2.
Nabi
Muhammad saw. mendakwahkan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
3.
Para
pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat.
4.
Taklid
kepada nenek moyang yang sudah mengakar pada bangsa Arab.
5.
Pemahat
dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezki.[[6]]
Inilah yang
mengakibatkan dalam penerapan peraturan-peraturan maupun syariat Islam
diperlukan adanya proses yang bertahap. Tahap awal dari orientasi Islam adalah
memenuhi aqidah yang merupakan landasan utama yang menjadi dasar bagi semua
aspek kehidupan masyarakatnya. Di samping itu, penghapusan sedikit demi sedikit
moral bejat mereka, menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah mendarah
daging di kalangan mereka. Ini merupakan awal pembentukan hukum Islam yang
menggunakan alquran sebagai sumber atau dasarnya.
Masa Nabi Muhammad saw
ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam
baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya
kepada Nabi Muhammad saw. Alquran diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman hidup
manusia. Ayat demi ayat yang diterima oleh Rasulullah saw. diterangkan dan
dijabarkan lebih jauh oleh beliau yang kemudian diamalkan oleh kaum Muslimin.
Pada masa kenabian, terdapat dua periode pembinaan hukum Islam, yaitu periode
Makkah dan periode Madinah.
Penetapan hukum pada
masa Rasulullah SAW dapat dibagi kedalam dua periode yaitu :
1. Sejarah Penetapan Hukum Periode Mekkah
Periode Makkah dikenal
dengan periode penanaman aqidah dan akhlak. Aqidah berbicara tentang
kepercayaan kepada Allah swt., kepada Malaikat, Kepada Rasul, kepada hari akhir
dan kepada qada dan qadar. Sementara itu akhlak berbicara tentang larangan
membunuh, larangan mengurangi timbangan dan menjauhi perbuatan tercela, dll.
Kedua hal inilah yang diutamakan Nabi saw. dalam dakwahnya. Pada periode ini,
yang paling pokok ditekankan dalam ajaran Islam adalah masalah ketauhidan atau
akidah, karena tauhid inilah yang menjadi fondasi bagi segala amalan lainnya.[[7]]
Perbaikan
akidah diharapkan dapat menyelamatkan umat Islam dari kebiasaan-kebiasaan buruk
sebelumnya, seperti berperang, zina, mabuk-mabukkan, mengubur anak perempuan
hidup-hidup dan menghinakan perempuan. Kemudian mengajarkan kepada mereka
hal-hal yang baik, seperti menegakkan keadilan, persamaan dan hak asasi
manusia, saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, serta menjauhkan diri
dari perbuatan yang sia-sia. [[8]]
Periode Mekkah juga
bisa dikatakan sebagai periode revolusi akidah, karena mengubah masyarakat yang
awalnya sangat kental dengan sistem kepercayaan jahiliyah menjadi penghambaan
kepada Allah semata. Revolusi ini menghadirkan perubahan fundamental,
rekontruksi sosial dan moral bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada masa ini
belum ada ayat mengenai legislasi sosial atau menyusun hukum-hukum civil
seperti hukum-hukum perdagangan.[[9]]
2. Sejarah Penetapan Hukum Periode Madinah
Hijrahnya Nabi saw. ke
Madinah merupakan periode yang kedua dalam pembinaan hukum Islam. Periode
Madinah dikenal sebagai periode penaatan dan pemapanan masyarakat. Oleh karena
itu di periode Madinah inilah nabi mensyariatkan hukum dalam segala aspek
kehidupan manusia, baik itu hubungan vertikal manusia dengan Allah SWT, ataupun
hubungan yang bersifat horizontal manusia dengan manusia lain.
Adapun faktor yang menyebabkan proyek
hukum banyak dibicarakan dalam periode Madinah yaitu karena dalam periode ini
orang Islam sudah memiliki dasar akhlak dan aqidah yang kuat sebagai landasan
terhadap aspek-aspek lainnya.
Beberapa
contoh metode yang diterapkan Rasulullah pada masa pertumbuhan dan pembinaan
hukum Islam di Madinah. antara lain adalah:
1.
Perubahan
yang ditetapkan dilakukan secara revolusi ataupun bertahap (tadwin) terhadap
adat istiadat yang telah mengakar dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah
tentang permasalahan minuman khamar dan judi.[[10]]
Pada tahap pertama menjelaskan tentang kerugian yang lebih besar daripada
keuntungannya. Pada tahap berikutnya tidak boleh mendekati shalat ketika dalam
keadaan mabuk dan pada akhirnya dinyatakan sebagai perbuatan syaitan dan mesti
dijauhi. Kemudian penjelasan hukum yang diberikan oleh Rasulullah saw. lebih
banyak dalam bentuk pertanyaan yang diajukan dan memerlukan jawaban.
2.
Bersifat
tegas (evolusioner) dalam bidang-bidang tertentu terutama dalam ibadah maupun
aqidah.[[11]]
3.
Metode
yang diterapkan dalam penetapan hukum tidak berpandangan picik (berwawasan
luas).[[12]]
4.
Penyederhanaan
aturan-aturan atau untuk keringanan manusia.[[13]]
Metode yang diterapkan Rasulullah saw. ini bersandarkan tuntunan Allah swt
dalam menerapkan ataupun membina hukum Islam.
Banyak sekali hukum
yang disyariatkan pada periode Madinah untuk menjawab suatu persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat, pada periode hukum lebih ditekankan untuk menghadapi
permasalahan yang kompleks dalam berkehidupan sosial, contohnya seperti boleh
tidaknya menggauli istri yang sedang haid,[[14]]
bolehkah berperang pada bulan haji,[[15]]
bagaiman proses dikharamkannya khamar, [[16]]
hukum-hukum perdagangan, dll.
Jalan
yang Nabi tempuh dalam membina hukum pada masa itu
Nabi membina hukum ini
secara berangsur-berangsur satu demi satu, bukan sekaligus. Di sini Nabi
menetapkan hukum dan perundang-undangan berdasarkan putaran roda kehidupan
masyarakat yang semakin hari semakin semakin maju. Pada periode pertama ini,
penetapan hukum berdasarkan tangan Nabi s.a.w sendiri tak ada seorang pun yang
ikut campur tangan. Dasar Nabi dalam menetapkan hukum adalah dari Allah dan
penetapan-penetapan nabi yang berdasar pada wahyu Allah juga. Ayat-ayat hukum
yang turun lantaran ada suatu sebab atau untuk menjawab suatu pertanyaan.
Sangat jarang sekali ayat yang turun tanpa sebab (asbabun nuzul) atau
perbuatan. [[17]]
Sumber-Sumber
Legislasi[[18]]
Pada Masa
Rasulullah.
Apabila terjadi suatu
kasus persengketaan, suatu kejadian, pertanyaan atau hal yang memerlukan fatwa
yang kesemuanya memerlukan dan menuntut legislasi, maka Allah wayuhkan kepada
Rasulullah saw suatu ayat atau lebih yang mengandung hukumannya sesuai dengan
tuntutan hal tersebut , setelah itu baru Rasulullah menyampaikan kepada umat
Islam. Sebaliknya, apabila terjadi suatu
kasus yang memerlukan legislasi, tapi Allah tidak menurunkan wahyu untuk
menentukan hukumnya kepada Rasulullah, maka Rasulullah saw berijtihad sendiri
dalam mendapatkan hukum kasus tersebut.[[19]]
Ijtihad Pada
Masa Rasulullah
Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan[[20]],
walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan.
Sumber/kekuasaan
tasyri’ (pembuatan undang-undang) pada periode ini hanya dipegang oleh
Rasulullah dan tak seorang pun dari umat Islam, selain beliau dibolehkan
menentukan hukum yang berkenaan dengan suatu peristiwa, baik untuk dirinya
sendiri, ,ataupun untuk orang lain. Hal ini karena dengan adanya Rasulullah
SAW. Di tengah-tengah mereka, yang memudahkan mereka mengembalikan setiap
masalah kepada beliau, maka tak seorangpun dari mereka berani berfatwa dari
hasil ijtihadnya sendiri dalam suatu peristiwa atau menjatuhkan vonis terhadap
suatu persengketaan yang terjadi.[[21]]
Bahkan, kalau mereka (para sahabat) menghadapi suatu peristiwa, terjadi
persengketaan, suatu pertanyaan, atau permintaan fatwa, mereka langsung
mengembalikan persoalan-persoalan itu pada Rasulullah saw.
Namun
demikian sebagian sahabat pernah melakukan ijtihad dan memutuskan sebagian
persengketaan dan mengambil suatu hukum. Rasulullah SAW mengizinkan para
sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad
atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau
diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:[[22]]
Sesungguhnya
Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata
padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz
pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu
Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab:
“Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama
tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan
pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan
Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan
Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.[[23]]
Hal
tersebut di atas dan semacamnya tidak berarti menunjukkan bahwa seorang selain
Nabi mempunyai wewenang untuk membuat ketentuan hukum, sebab hanya terjadi pada
waktu-waktu tertentu, yang tidak memungkinkan untuk menyerahkan permasalahannya
kepada Rasulullah saw. Di samping itu, keputusan sahabat itu merupakan
penerapan hukum, bukan merupakan suatu tasyri’. Olehnya itu setiap ijtihad
sahabat belum merupakan ketetapan yang berlaku bagi umat Islam kecuali bila ada
ketetapan dari Rasulullah saw. ijtihad yang datang selain dari beliau baru bisa
menjadi tasyri’ kalau sudah ada pengakuan dari beliau.[[24]]
Jika
disimak hukum Islam seirama dengan dimensinya dalam sejarah, maka isi
pengkajian dalam setiap dimensinya mutlak menampakkan berbagai sistem atau
metode. Oleh sebab itu, pada zaman Rasulullah saw., hukum Islam secara
bersahaja dapat diperoleh berdasarkan wahyu Allah swt dan ijtihad Rasulullah
saw, yaitu hukum Islam dalam perspektif Alquran dan Sunah. Masing-masing
diyakini oleh umat Islam adalah syari’at Islam, semua tergambar sebagai dalil
naqli atau nash-nash.[[25]]
Pengaturan
tentang peraturan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an lebih banyak diungkapkan
secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan Nabi. Oleh karena itu,
terasa perlu untuk tetap mengkaji sunnah, karena Nabi sebagai mubayyin terhadap
al-Qur’an. Sebagian aturan al-Qur’an yang bersifat umum atau yang berbentuk
gari-garis besar telah diperjelas secara harfiah oleh Nabi. Akan tetapi
kemudian akan muncul permasalahan, karena masih banyaknya juga penjelasan Nabi
yang juga memerlukan penalaran.[[26]]
Sebenarnya ini masih
menjadi perdebatan apakah nabi melakukan ijtihad atau tidak, ada tiga pendapat
mengenai ini, yakni :
1.
Sebagaian ulama menyatakan
bahwa tidak mungkin Nabi berijtihad, mereka adalah Asy’ariyah, mayoritas
Mu’tazilah, Abu Ali al Jubai, dan Hasyim. Mereka beralasan :
-
Bahwa
Nabi selalu dibimbing Allah dan perkataannnya adalah wahyu.
-
Nabi
memiliki kemampuan untuk sampai kepada hukum yang meyakinkan, sedangkan ijtihad
merupakan hal yang tidak meyakinkan.
-
Ijtihad
itu apabila tidak ada nash, sedangkan selama nabi masih hidup tidak mungkin
nash itu berhenti.
2.
Jumhur Ulama Berpendapat bahwa Nabi mungkin
dan boleh melakukan ijtihad sebagaimana berlaku kepada umat manusia.
Adapun argumen jumhur adalah :
Nabi beberapa kali melakukan ijtihad,
namun ijtihad nabi kurang tepat hingga ditegur oleh Allah. Contohnya dalam
peristiwa tawanan perang Badar, apakah tawanan akan dimintai tebusan ke
keluarganya atau dibunuh saja, nabi lebih cenderung untuk menahannya dan
ditukar saja, sesuai dengan pendapat Abu Bakar, sementara Umar menganjurkan
untuk dibunuh saja (al-Anfal :67). Kemudian Nabi memperbolehkan orang munafik
ikut perang uhud, padahal Umar menyarankan untuk tidak ikut berperang
(at-Taubah 43). Umar juga sering bertanya dulu kepada Nabi apakah ini wahyu
atau ijtihad beliau.
3.
Pendapat yang mengambil jalan tengah yakni, dapat
saja Nabi berijtihad dalam masalah-masalah keduniaan seperti dalam menentukan
taktik peperangan, serta keputusan-keputusan yang berhubungan dengan
perselisihan dan persengketaan, tapi tidak dalam masalah hukum syara’.[[27]]
Peradilan di
Masa Rasulullah
Peradilan masa
rasulullah dapat dikatakan sangat sederhana tanpa adanya gedung khusus.
Seketika orang mengajukan perkara, maka ketika itu pula diselesasikan. Pada
masa itu Rasul memutus perkara sebagaimana zahirnya (berikut saksi dan bukti) yang
menyertainya, dan dalam hal-hal tertentu ia menggunakan sumpah sebagai penguat
jika tidak ada bukti, keputusan yang diambil rasul itu merupakan hasil ijtihad
beliau bukan dari wahyu.
Pada masa Rasulullah
sudah ada institusi banding dan peninjauan kembali bagi suatu keputusan hukum
yang telah dijatuhkan. Kemudian keputusan ada kemungkinan dibatalkan, atau
diganti dengan keputusan yang baru.[[28]]
` Dari berbagai pembahasan di atas,
dapat kita ambil kesimpulan bahwa Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum
menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena
posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi penjelasan) juga sebagai penetap
hukum atau masalah yang muncul. Sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan
kurang bahkan tidak reaksi dalam masyarakat. Pada zaman Nabi, hukum-hukum atau
penetapan-penetapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu. Hukum
Islam pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan Nabi
yang nampak pada tindakan-tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari beliau
sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan para
sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.[[29]]
2.
PEMIKIRAN HUKUM
ISLAM PERIODE II
(PERIODE
KHULAFAUR-RASYIDIN)
Khulafaur Rasyidin
adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebutkan empat orang pimpinan
tertinggi umat Islam yang berturut-turut menggantikan kedudukan Nabi Muhammad
Saw sebagai kepala negara,yaitu Abu Bakar (w. 13 H), Umar bin Khattab (w. 23
H),Usman bin Affan (w. 35 H)dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H).
Setelah Rasulullah wafat,
kendali tasyri’ (penetapan hukum) dipegang oleh Khulafaur-Rasyidin. Mereka
menghadapi tugas-tugas yang berat, hal ini dikarenakan perkembangan luas
wilayah Islam yang pada saat itu mulai memasuki daerah mesir, syam, persia dan
Iraq. Dan karena di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak menashkan hukum bagi
setiap kejadian dan masalah. Maka para sahabat berijtihad dengan menggunakan
qaidah-qaidah yang berdasar al-Qur’an dan hadits.[[30]]
Sumber-sumber
Legislasi pada Masa Khulafaur al-Rasyidin
1. Al Qur’an
Para
sahabat sama sekali tidak pernah mendahului al-Qur’an dalam menetapkan hukum,
karena al-Qur’an adalah sumber pertama bagi pembentukan akidah Islam, akhlak
yang mulia, dan hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa. Jika ada masalah
yang muncul dan memang ada hukumnya serta kandungan dalilnya tepat maka mereka
akan mengambil ayat ini tanpa bermusyawarah dengan siapa pun dan tidak ada
perbedaan sama sekali diantara mereka dalam hal ini.[[31]]
2. As-Sunnah
Para
sahabat selalu mengacu kembali kepada As-Sunnah dalam menginstinbat hukum
manakala tidak menemukan nash dalam al-Qur’an, karena As-Sunnah adalah sumber
kedua bagi perundang-undangan Islam setelah al-Qur’an. Adapun cara sahabat
dalam mengamalkan sunnah pada zaman ini adalah jika ada hadits dan perawinya
bisa dipercaya, atau tidak ada yang menentangnya maka dalam keadaan ini mereka
tidak akan ragu menerima dan berfatwa dengannya.[[32]]
3. Ijma’
Ijma’
merupakan kesepakatan para mujtahid dari umat nabi Muhammad, dalam satu zaman
tentang satu masalah syariat. Ijma’ harus berasal dari kesepakatan semua
mujtahid, jika hanya sebagaian ulama saja tidak dianggap ijma’. Para sahabat
biasanya tidak mengikat dirinya dengan hasil ijma’ kecuali jika ijma’ itu lahir
dari semua orang yang diperhitungkan. [[33]]
4. Ijtihad
Pada
masa Khulafaur Rasyidin, mereka tidak memberi fatwa terhadap masalah yang tidak
ada nashnya kecuali setelah disampakan kepada para ahli ilmu dan rayi; dari
kalangan sahabat, masing-masing mempunyai orang-orang khusus untuk dimintakan
pendapatnya dalam masalah-masalah seperti ini dan yang lainnya, termasuk
masalah politik dan pemerintahan. Bahkan mereka mengumpulkan para hakim untuk
diajak bermusyawarah memutuskan masalah yang tidak ada dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah.[[34]]
Ada
tiga hal pokok yang menjadi sebab lahirnya ijtihad tersebut, yakni :
1.
Timbulnya masalah-masalah yang secara
lahiriah telah diatur ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah, dalam keadaan
tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pehamahan baru agar selalu
relevan dengan perkembangan dan persoalan baru yang dihadapi.
2.
Munculnya berbagai persoalan baru, yang
membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya
dalam al-Qur’an maupun sunnah.
3.
Dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan
terhadap suatu kejadian tertentu, para sahabat akan menemukan kesulitan dalam
menerapkan dalil-dalil yang ada.[[35]]
Perkembangan
Hukum Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. ABU BAKAR
Abu bakar dipilih
secara demokratis untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Abu Bakar
memerintah selama tiga tahun. Selama pemerintahannya pula ia disibukkan
menumpas kaum murtad, nabi palsu Musailamah al’Kazzab, dan penumpasan mereka
yang enggan membayar zakat. Tidak banyak masalah hukum yang ditorehkan dalam
sejarah pada masa pemerintahan Abu Bakar ini dengan alasan :
v Masa
pemerintahan Abu Bakar yang singkat, yakni hanya tiga tahun.
v Konsentrasi
pemerintahan terkuras pada pemberantasan pemberontak.
v Kehidupan para
sahabat pada masa itu belum terlalu kompleks sehingga tidak banyak masalah yang
timbul.
v Semangat
keimanan dan keislaman pada waktu itu masaih sangat tinggi. Sehingga jika
terjadi masalah mereka lebih sabar dan bertoleransi.
Masalah hukum yang
terekam dalam sejarah periode pemerintahan Abu Bakar adalah masalah kewarisan.
Permasalahan lain adalah ketika terjadi pertentangan dari sebagian umat Islam
untuk membayar zakat. Abu Bakar memerintahkan untuk membunuh para pemberontak
ini karena dianggap telah murtad. Selain dari praktik diatas, Abu bakar selalu
mengajak bermusyawarah para sahabat ketika menghadapi suatu maslah hukum,
terutama kepada sahabat besar. Metode yang dilakukan oleh Abu Bakar inilah yang
kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah selanjutnya.[[36]]
Dan yang menjadi hakim pada waktu itu adalah Umar bin Khattab dimana para
sahabat enggan berhadapan denggannya.
2. UMAR BIN KHATTAB
Umar ibn Khattab
terpilih sebagai khalifah berdasarkan sistem formatur dan atas rekomendasi dari
Abu Bakar. Umar memerintah sebagai khalifah selama 13 tahun. Dibidang peradilan
Umar menjadikan lembaga peradilan sebagai garda terdepan dalam pembangunan.
Pengadilan pada periode itu sudah teratur dengan adanya penunjukan qadhi dan
pengajian hakim dan pegawai. Umar membuat hukum acara peradilan (Risalah qada
Umar ibn Khattab). Para qadhi pada masa itu juga digaji dengan tetap.[[37]]
Dasar-dasar landasan
hukum Umar adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Ijtihad. Dalam hal
Ijtihad Umar ibn Khattab sangan terkenal dengan ijtihadnya yang sangat
inovatif, aktual dan memberikan solusi terhadap masalah baru yang muncul karena
proses asimilasi kulturasi dalam masyarakat.
Di antara
ijtihad-ijtihad Umar bin Khattab adalah :
v
Jatuhnya talak tiga sekaligus dalam
suatu majelis. Umar menetpkan ijtihad tersebut setelah melihat permasalahan
dilapangan yaitu banyak orang menjatuhkan dan mempermainkan talak.[[38]]
v
Perempuan yang menikah pada waktu Iddah.
Perkawinan itu dibatalkan dan dianggap tidak syah. Perempuan itu harus
mengulang masa iddah dan laki yang menikahinya saat masa idah haram menikahi
perempuan tersebut untuk selamanya.
v
Tentang Ghanimah (Harta rampasan perang)
pada masa pemerintahan Umar hanya dibagikan harta bergerak saja. Harta yang
tidak bergerak seperti tanah tidak dibagi-bagikan seperti yang dipraktekan
Nabi, akan tetapi tanh itu tetap dibiarkan berada ditangan penduduk setempat
dengan mewajibkan pajak.[[39]]
Hal ini
untuk mencegah kecemburuan sosial akibat kemungkin ketidakadilan pembagian
harta secara adil. Apabila harta itu dibagikan dikhawatirkan motivasi umat
Islam dalam berperang berubah dari jihad fi sabilillah menjadi mencari rampasan
perang.
v
Potong Tangan bagi pencuri. Umar ibn
khattab tidak melaksanakan hukum potong tangan bagi pencuri sesuai yang telah
ditetapkan al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena situasi dan kondisi pada saat
itu sedang mengalami musim paceklik sehingga menyebabkan orang terpaksa mencuri
untuk makan.
v
Shalat Tarawih. Pada masa nabi, shalat
tarawih dikerjakan sendiri dan dilakukan sebanyak sebeles rakaat. Kemudian pada
masa Umar menjalankan shalat tarawih secara berjamaah, sedangkan jumlah rakaat
pada waktu itu adalah 23 rakaat.[[40]]
3. UTSMAN BIN AFFAN
Utsman bin Affan naik
menjadi khalifah menggantikan Umar bin Khattab lewat prosedur formatur.
Kemajuan paling kentara yang didapatkan pada masa pemerintahan adalah perluasan
wilayah. Pada masa Utsman peradilan sudah memiliki bangunan tersendiri terpisah
dengan masjid.
Pemikiran Utsman bin Affan adalah
sebagai berikut :
1. Azan
jumat dua kali. Ini berbeda dengan zaman Nabi yang paada saat itu hanya satu
kali. Alasan utsman menggunakan dua azan karena wilayah Islam yang semakin
luas, sehingga beliau beranggapan azan satu kali tidak cukup dan merata ke
seluruh wilayah.
2. Unta
yang kabur pada zaman nabi, Abu Bakar dan Umar dilepas begitu saja. Akan tetapi
pada masa Utsman dijual, dan apabila pemiliknya datang maka uang itu diberikan.
3. Istri
yang diceraikan saat suaminya sakit keras kemudian meninggal. Istri tersebut
mendapatkan bagian warisan baik masih dalam masa iddah ataupun tidak. Berbeda
dengan zaman Umar yang hanya pada masa iddah saja.[[41]]
4. ALI BIN ABI THALIB
Setelah Utsman
meninggal karena ditikam oleh para pemberontak. Maka Ali bin Abi Thalib sebagai
penggantinya. Pada masa Ali ini banyak terjadi perseteruan dengan keluarga
Utsman yang dipimpin Muawiyah bin Sufyan. Meskipun pertempuran keduanya
diakhiri dengan abitrase (cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian /arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa).
Adapun hasil ijtihad Ali bin Abi Thalib
adalah :
1.
Iddah perempuan hamil yang ditinggal
suaminya adalah waktu paling panjang antara iddah 4 bulan 10 atau melahirkan.
Sedangkan pada masa Umar iddahnya sampai melahirkan.
2.
Pada zaman Ali untuk mempermudah orang
awam mempelajari al-Qur’an maka dirancang simbol baca yang berbentuk titik
atas, disamping dan dibawah huruf.
3.
Hukuman bagi pemabuk. Sebelum masa Ali hukuman
bagi pemabuk adalah 40 kali cambukan. Akan tetapi pada periode Ali hukuman itu
ditingkat dua kali lipat menjadi 80 kali. Karena Ali beranggapan hukuman 40
kali belum cukup membuat jera para pemabuk.[[42]]
B.
SEJARAH
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
a.
PENGERTIAN
Secara etimologi
pemikiran berasal dari kata dasar “Pikir” yang berarti proses, cara, perbuatan
memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan
mempertimbangkan segala sesuatu secara bijak. Sedangkan secara terminology,
menurut Mohammad Labib An-Najihi, pemikiran pendidikan Islam adalah aktivitas
pemikiran yang teratur dengan menggunakan metode filsafat.[[43]]
Melihat definisi
tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pemikiran Pendidikan Islam adalah
serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara sungguh-sungguh
dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya
untuk membangun sebuah pradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi
pembinaan dan pengembangan secara paripurna.[[44]]
Namun secara khusus
filsafat (pemikiran) pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran
rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis
untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam. Pengetahuan demikian
diharapkan menjadi pengetahuan yang bersifat universal dalam arti jangkauan
waktu dan wilayah keberlakuannya relatuf lama dan luas.[[45]]
b.
FAKTOR
KEMUNCULAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Adapun
faktor-faktor kemunculan pemikiran dalam pendidikan islam adalah sebagai
berikut:
1.
Faktor
kebutuhan pragmatisme umat Islam yang sangat memerlukan satu sistem pendidikan
Islam yang betul-betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak
manusia-manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, beriman kepada Allah. Agama
Islam sendiri melalui ayat Al-qur’an banyak menyuruh atau menganjurkan umat
Islam untuk selalu berfikir, membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian
bisa diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita
lihat.
2.
Adanya
kebutuhan umat akan kemajuan dan perbaikan nasib dirinya bisa dikatakan sebagai
faktor penentu timbulnya proses pembaharuan pendidikan dalam Islam. Disamping
agama Islam sendiri melalui al-Qur’an, sebagai sumber ajaran: banyak
manganjurkan kepada umatnya untuk melakukan pembaharuan di segala bidang.
3.
Adanya
kontak Islam dengan Barat, yang merupakan faktor penting yang bisa kita liat,
adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan paradigma
umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada Barat, sehingga
ketertinggalan-ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa
terminimalisir. Timbulnya pemikiran pendidikan Islam baik dalam bidang agama,
sosial, dan pendidikan diawali dan dilatar belakangi oleh pemikiran Islam yang
timbul di belahan dunia Islam lainnya, terutama diawali oleh pembaharuan
pemikiran islam yang timbul di Mesir, Turki, dan India. Latar belakang
pembaharuan yang timbul di Mesir di mulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir.[[46]]
1.
SEJARAH
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW
Dalam catatan sejarah, eksistensi
pendidikan Islam telah ada sejak Islam pertama kali diturunkan .Ketika
Rasulullah mendapat perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam, maka
apa yang dilakukan, jelas masuk dalam kategori pendidikan. Kepribadiannya merupakan
wujudan ideal Islam tentang seorang guru dan pendidik. Dalam Al-Qur’an, ayat
yang pertama kali diturunkan Allah berhubungan langsung dengan pendidikan
.Surah Al-‘Alaq jelas mengandung nilai filosofi yang menjadi dasarkegiatan
pendidikan.Hal tersebut menunjukkan penekanan dan pandangan Al-Qur,an terhadap
pentingnya ilmu pengetahuan . Ketika di Mekah, proses pendidikan Islam
dilakukan Nabi Muhammad dan para sahabat di Darul Arqam, sebagai pusat
pendidikan dan dakwah.
Di Madinah proses pendidikan dilakukan
di Masjid, yang mana di dalam Masjid tersebut terdapat suffah yang berfungsi
sebagai tempat pendidikan dan tempat tinggal bagi pendatang yang datang ke
Madinah.[[47]]
Kebijakan lain yang dilakukan oleh
Nabi dalam memajukan pendidikan Islam dalah melalui pemanfaatan para tawanan
perang badar .Sejumlah tawanan yang mampu menulis dan membaca akan dilepaskan
Rasul bila ia mengajari sepuluh anak-anak muslim menulis dan membaca. Pada era
tersebut lembaga pendidikan islam bernama kuttab, yang berfungsi sebagai tempat
pengajaran pokok-pokok agama dan tulis baca.[[48]]
2.
SEJARAH
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA SAHABAT
Setelah Rasul Wafat perkembangan
ilmu pengetahuan pun terus berkembang,yang mana terus di kembangkan oleh para
kahlifah dan sahabat lainnya.Namun para sahabat pada masa itu mengalami
kesulitan, tapi berkat ajaran yang ditinggalkan oleh Rasul, para sahabat dapat
melewati kesulitan tersebut, sehingga pada saat itu kehidupan dimasa rasul
seakan-akan terulang kembali.Pemikiran pendidikan Islam masih tetap berpegang
teguh pada Al-Qur’an dan Hadist Rasul sebagai sumber utama rujukan
pendidikannya.Tidak ada pemikiran baru pada masa tersebut, kecuali hanya
sedikit bercampur dengan filsafat yunani.Akan tetapi sangat terbatas dan
pengaruhnya sangat sedikit, sebagian besar berkisar pada logika bukan filsafat
dalam pengertian yang luas seperti masa-masa sesudah khulafaurrasyidin.[[49]]
3.
SEJARAH
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA
BANI
UMAYYAH
Pada masa Umayyah pemikiran
pendidikan Islam memasuki babak baru, dimana kstabilan politik telah dirasakan
oleh negri –negri Islam .Oleh karena itu, tidak heran jika perhatian
orang-oarang Islam sudah mengarah pada masalah kebudayaan, ilmu pengetahuan,
dan peradaban- peradaban baru .Dalam waktu yang sama mereka memberikan
perhatian besar pada ilmu bahasa, sastra, dan agama untuk memelihanya dari
pikiran – pikiran luar.
Pemikiran pendidikan Islam pada masa
ini juga tersebar pada beberapa tulisan ahli Nahwu, sastra, hadist, dan
tafsir.Pada masa ini para ahli tersebut mulai mencatat ilmu-ilmu bahasa, sastra
dan agama untuk menjaga agar tidak diseludupkan pikiran-pikiran lain dan
perubahan yang akan merusaknya.[[50]]
4.
SEJARAH
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA
ABBASYAH
Sedangkan perkembangan pemikiran
pendidikan Islam pada masa Abbasiyyah merupakan masa keterbukaan terhadap
kebudayaan dan peradap peradapan asing seluas-luasnya. Sehingga bermunculanlah
para pemikir-pemikir baru, seperti munculnya empat imam mazhab terkenal
dibidang ilmu fiqih yakni Imam Abu Hanifah(80-150 H), Imam Malik (95-179 H),
Imam Asy-Syafi’i(150-204 H) dan Imam Hanbali (164-241 H).Selain dari itu muncul
pula pengumpul hadits yang sangat mashur yakni Imam AL-Bukhari (194-256 H).
Perkembangan tersebut dalam sejarah
Islam dikenal dengan masa “keemasan”, karena pada saat itu ilmu-ilmu akal sudah
mulai masuk dan bermunculan, pembinaan sekolah –sekolah, dan timbulnya
pemikiran pendidikan yang istimewa.Selain dari itu penerjemahan terhadap
buku-buku filsafat yunani kedalam bahasa arab sangat gencar dilakukan,
begitupun dengan buku-buku budaya lain, seperti Persia, India, sehingga dalam
waktu 150 tahun hampir semua ilmu pengetahuan yang ada sudah dibukukan kedalam
bahasa Arab.[[51]]
C.
SEJARAH
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM
Menurut Harun Nasution, persoalan yang
pertama muncul sehingga lahir perdebatan dalam bidang kalam atau teologi adalah
persoalan politik. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi
persoalan teologi.[[52]]
Teologi Islam atau ilmu kalam atau istilah-istilah lain, dikenal sebagai ilmu
keislaman yang berdiri sendiri, yakni pada masa Khalifah al-Makmun (813-833)
dari bani Abbasiyah. Sebelum itu pembahasan terhadap kepercayaan Islam disebut
al-fiqhu fi al- ddin sebagai lawan dari al-fiqhu fi al-‘ilmi.[[53]]
1.
Sejarah
Perkembangan Teologi Islam Pada Masa Rasulullah SAW.
Timbulnya aliran
teologi dalam agama Islam berawal dari wafatnya Nabi Muhammad SAW dan juga
berawal dari permasalahan persoalan-persoalan politik setelah Nabi Muhammad SAW
wafat. Bahkan teologi atau ilmu kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri
belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad maupun pada zaman sahabatnya.[[54]]
Persoalan politik yang
kelak meningkat menjadi persoalan teologi belum terjadi pada masa ini. Meskipun
pada masa ini islam telah bersinggungan dengan politik. Hal ini dapat kita
lihat dalam sejarah penyebaran islam di Hijaz, baik pada periode Mekah maupun
pada periode Madinah. Ketika di Mekah, Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi
sebagai kepala agama dan tidak mempunyai fungsi sebagai kepala pemerintahan,
karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu
itu. Kekuasaan politik di kota ini terletak dalam tangan pedagang tinggi.
Sebaliknya di Madinah, Nabi Muhammad SAW menjadi kepala agama sekaligus kepala
pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota
ini karena sebelum itu tidak ada kekuasaan politik di kota ini.[[55]]
2.
Sejarah
Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Khulafāurrāsyidin
Ketika Nabi Muhammad SAW. Wafat pada
tanggal 12 Rabiul awwal tahun 11 H/632 M daerah kekuasaan Madinah tidak hanya
terletak pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung
Arabia. Negara Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W. M. Watt, telah
merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang telah mengikat tali persekutuan
dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan
mungkin juga masyarakat Mekah sebagai intinya. Jadi, tidak mengherankan kalau
masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti
beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi
merupakan persoalan kedua bagi mereka. Timbullah soal khilāfah, soal pengganti
Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Sebagai Nabi atau Rasul, tentu tidak dapat
digantikan.[[56]]
Kendatipun Rasul SAW tidak menunjuk
seorang khalifah (pengganti) beliau namun tokoh-tokoh dalam masyarakat muslim
mengetahui benar-benar bahwa islam menuntut adanya kekhalifaan yang didasarkan
atas musyawarah. Tidak satu keluarga pun memonopoli pemerintahan, tidak seorang
pun merampas kekuasaan dengan kekuatan atau paksaan, dan tidak seorang pun yang
memuji dirinya atau memaksakan dirinya untuk mencapai kedudukan khalifah.
Rakyat pada saat itu dengan sukarela telah memilih empat sahabat Nabi untuk
diangkat sebagai khalifah. Sejarah meriwayatkan bahwa perdebatan yang lumayan
sengit terjadi antara kaum Anshar dan Muhajirin dalam hal siapa yang berhak
menjadi khalifah, akhirnya mereka sepakat mengankat Abu Bakar Ash Shiddiq
sebagai kepala Negara atau khalifah yang pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan
oleh Umar Bin Khattab.[[57]]
Pada masa pemerintahan
khalifah Abu Bakar kondisi politik relatif stabil. Politik yang kelak menjadi
persoalan teologi pada masa ini belum terjadi. Hal ini dikarenakan pada masa
ini umat muslimin sibuk berperang melawan kaum muslimin yang murtad dengan
mengikuti ajaran Musailamah al Kazzab yang mengaku sebagai Nabi dan berperang
melawan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat pada waktu itu. Sedangkan
pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, umat islam sibuk melakukan ekspansi ke
berbagai negeri, sehingga mereka tidak sempat memperdebatkan masalah-masalah
teologi. Ekspansi yang dilakukan umat islam pada waktu itu seperti ke Persia,
Syam, syiria, Palestina, Mesir, dan turki.
Setelah Umar wafat
akibat ditikam ketika memimpin shalat, dia digantikan oleh Usman Bin Affan
sebagai khalifah. Usman termasuk golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum
keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekah yang karena pengalaman dagang
mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini
bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia
yang bertambah banyak masuk dalam kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan
Usman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi keluarganya
yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur
di daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat
oleh Umar Bin Khattab, khalifah yang terkenal sebagai khalifah yang kuat dan
tidak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.[[58]]
Tindakan politik yang
dijalankan oleh Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan baginya.
Sahabat-sahabatnya yang pada mulanya menyokong Usman, ketika melihat tindakan
yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang
yang semula ingin menjadi khalifah atau ingin calonnya menjadi khalifah mulai
pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang
muncul di daerah-daerah. Dari Mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya Amr Bin Ash
yang digantikan oleh Abdullah Bin Sa’ad Bin Abi Sahr, salah satu anggota
keluarga Usman, sebagai gubernur Mesir, lima ratus pemberontak berkumpul dan
kemudian bergarak menuju Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya
membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.[[59]]
Setelah Usman wafat,
Ali menggantikannya menjadi khalifah. Tetapi segera pula ia mendapat tantangan
dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah. Terutama Talha dan Zubair
dari Mekah yang mendapat sokongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah ini
berhasil dipatahkan oleh Ali pada perang Jamal yang terjadi di Irak pada tahun
656 M. Talha dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikembalikan ke Mekah. Selanjutnya
akibat persoalan politik yang menyangkut pembunuhan Usman Bin Affan, berbuntut
pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali Bin Abi Thalib. Mu’awiyah sendiri
adalah gubernur Damaskus dan merupakan keuarga terdekat Usman. Mu’awiyah
menuduh Ali sebagai salah satu orang yang turut ikut campur dalam pembunuhan
Usman. Ketegangan antara keduanya mengkristal menjadi perang Shiffin yang
berakhir dengan keputusan tahkīm (arbitrase).[[60]]
Pada peperangan
tersebut pasukan Mu’awiyah berhasil dipukul mundur. Tetapi dengan kelicikan
salah satu tangan kanan Mu’awiyah yaitu Amr Bin Ash, meminta berdamai dengan
mengangkat al- Qur’an ke atas. Ali pun menerima ajakan perdamaian itu atas
desakan para Qurra yang ada dipihaknya.
Maka dicarilah jalan perdamaian dengan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat
dua orang, yaitu Amr Bin Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al Asy’ari dari
pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr Bin Ash mengalahkan perasaan
takwa Abu Musa al Asy’ari.
Sejarah mengatakan
antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang
bertentangan, Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa sebagai
yang tertua yang terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan untuk
menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan tersebut. Berlainan dengan apa yang
telah disetujui, Amr Bin Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang
telah diumumkan oleh Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah.[[61]]
Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah.
Ali tetap menjadi khalifah yang legal, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak
lebih dari gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah.
Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak
resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali dan tidak mau
meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh pada tahun 661 M.[[62]]
Sikap Ali yang menerima
ajakan tersebut, sungguhpun berada dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh
sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi pada saat
itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah
dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al- Qur’an. Menurut
mereka la hukma illa lillāh
(tidak hukum selain hukum Allah) atau la
hakama illa allāh (tidak ada pengantara selain Allah) menjadi semboyan
mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan
barisannya. Dalam sejarah Islam mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu
orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders. Di luar pasukan Ali yang membelot ada pula
sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kelak disebut
Syiah. Akhirnya, setelah terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib pada peristiwa ini,
maka berakhir pula masa pemerintahan khulafāurrāsyidin.[[63]]
3.
Sejarah
Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Pasca Khulafāurrāsyidīn
Setelah berakhirnya
masa pemerintahan khulafāurrāsyidin, perpecahan dikalangan umat Islam semakin
meruncing. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana
yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya akhirnya membawa pada timbulnya
persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa
yang bukan kafir dalam arti siapa yang masih ada dalam Islam dan siapa yang
telah keluar dari Islam.
Kaum Khawarij memandang
bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa al Asyari dan lain-lain yang
menerima arbitrase adalah kafir. Hal ini menurut mereka sesuai dengan firman
Allah Q.S. al- Maidah: 44, yang artinya:
“barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Ayat inilah yang mereka
jadikan semboyan. Karena empat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam
arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh.
Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi
menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali Bin Abi Thalib yang
berhasil dalam tugasnya. Lambat laun kaum Khawarij terpecah menjadi beberapa
sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan
lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum berdasarkan al- Qur’an, tetapi
orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kabair atau capital sinners,
juga dipandang kafir. Persoalan berbuat dosa besar inilah kemudian mempunyai
pengaruh besar dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya teologi dalam
Islam. Persoalannya ialah masihkah bisa dipandang mukmin atau sudah menjadi
kafir karena berbuat dosa besar itu ? Persoalan ini menimbulkan tiga aliran
teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang
berbuat dosa besar adalah kafir. Dinyatakan keluar dari Islam atau tegasnya
murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh.[21] Ada juga diantara kaum khawarij
yang bersifat netral. Mereka memberi dukungan kepada Ali dalam peperangan,
bukan kepada lawan-lawannya.[[64]]
Selanjutnya aliran
Syiah yang fanatik kepada Ali dan keturunannya. Mereka berpendapat bahwa tidak
seorang pun yang berhak memegang kekhalifaan kecuali keturunan Ali. Kalau ada
yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak
kekuasaan. Kekhalifaannya tidak sah. Tetapi akhirnya partai ini dimasuki pula
anasir-anasir yang bukan-bukan, yang menyimpang dari pokok agama.[[65]]
Kaum Syiah berkeyakinan
bahwa khilāfah dan imamah ditetapkan berdasarkan atas pencalonan dan
penunjukan, baik tertutup maupun terbuka. Mereka juga mempertahankan bahwa
imāmah itu harus tetap berada pada keluarga Ali; jika imāmah itu pernah berada
di luar keluarga Ali, hal itu disebabkan sebuah kekeliruan pada pihak lain atau
karena taqiyyah dipihak imam yang benar.
Menurut mereka, imāmah
bukanlah masalah sipil yang secara sah diselesaikan dengan kehendak rakyat
lewat penunjukan seorang imam berdasarkan atas pilihan mereka sendiri. Imāmah
adalah masalah fundamental dan merupakan sebuah elemen dasar dari suatu agama.
Para utusan Allah tidak boleh mengabaikan atau tidak memperdulikan, apalagi
menyerahkannya pada pilihan rakyat kebanyakan.[[66]]
Selanjutnya aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang diperbuatnya,
terserah kepada Allah swt. Untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Mereka
memandang perbuatan-perbuatan itu bersifat sekunder daripada niat dan ketetapan
hati.[[67]]
Selanjutnya aliran
Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang
yang berbuat dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil
posisi di antara posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal
dengan istilah al manzila baina al manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Mu’tazilah sendiri adalah aliran yang bercorak rasional dan cenderung liberal.
Pemikiran mereka ini tidak lain karena dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani
klasik yang sangat mengagungkan akal pikiran. Hal ini didapatkan dari
penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam Bahasa Arab. Bahkan aliran ini pernah
menjadi mazhab resmi Negara, yaitu pada masa pemerintahan khalifah al Ma’mun
(813-833 M). Namun, pada masa pemerintahan khalifah al Mutawakkil di tahun 856
M, mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan. Dengan demikian
kaum Mu’tazilah kembali pada kedudukan mereka semula. Tetapi kini mereka telah
mempunyai lawan yang tidak sedikit dari kalangan umat Islam.[[68]]
Dalam pada itu timbul
pula dalam Islam dua aliran yang terkenal dalam teologi dengan nama Qadariyah
dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak
dan perbuatannya. Jabariyah sebaliknya berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala
tingkah lakunya, menurut paham Jabariyah bertindak atas paksaan dari Tuhan.
Segala gerak geriknya ditentukan oleh Tuhan.
Kemudian bentuk aliran
teologi tradisionil yang disusun oleh Abu Hasan al Asy’ari (935 M). al Asy’ari
sendiri pada mulanya adalah seorang mu’tazilah, kemudian beliau keluar lalu
mendirikan aliran baru yang terkenal dengan nama Asy’ariyah. Di samping aliran
Asy’ariyah timbul pula aliran di Smarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al
Maturidi (w. 944 M). kemudian aliran ini terkenal dengan nama Maturidiyah.
Kedua aliran tradisionil ini sama-sama menentang ajaran yang dipahami oleh
aliran Mu’tazilah. Selain keduanya ada pula aliran tradisionil yang juga
menentang paham Mu’tazilah. Mereka adalah pengikut-pengikut mazhab Hambali dan
pengikut-pengikut dari Abu Hanifah yang dibawa oleh al Tahawi (w. 933) dari
Mesir. Tetapi ajaran al Tahawi tidak menjelma menjadi ajaran teologi dalam
Islam.[[69]]
Dengan demikian,
aliran-alian teologi penting yang timbul dalam Islam adalah aliran Khawarij,
Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. aliran Khawarij, Murjiah, dan
Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada
sampai sekarang ialah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut
Ahl Sunnah wa al Jama’ah . Aliran Maturidiyah banyak dianut oleh umat Islam
yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariyah pada umumnya dipakai oleh
umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dalam dunia
Islam, yang kalau dahulu masuknya melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi
sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai
timbul kembali, terutama sekali dikalangan intelegensia Islam yang mendapatkan
pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan
mengenai Islam.[[70]]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1.
Pemikiran
hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan
oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi
penjelasan) juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Sehingga
kesimpulan hukum yang dihasilkan kurang bahkan tidak reaksi dalam masyarakat.
Pada zaman Nabi, hukum atau penetapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk
tertentu. Hukum Islam pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari
ucapan Nabi yang nampak pada tindakan-tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari
beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan
para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.
2.
Pada
periode Pemikiran Hukum Islam Masa Khulafaur Rasyidin, para faqih mulai
berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam
kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih menggunakan sumber
legislasi yang digunakan pada masa ini adalah: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Ijtihad.
3.
Pemikiran Pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja
akal dan kalbu yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai
persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah
pradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan
secara paripurna.
4.
Sejarah
pemikiran pendidikan islam membahas tentang kondisi pendidikan yang terjadi
pada masa Rasulullah SAW (periode mekkah dan madinah), masa para sahabat, masa
bani umayyah dan abbasyah.
5.
Lahirnya
teologi dalam islam itu bukanlah persoalan yang berbasiskan persoalan teologi,
namun didasari atas persoalan politik. Permasalahan
politik tersebut dalam perjalanannya beranjak menjadi permasalahan teologi
yang terjadi setelah Rasulullah wafat. Setelah Rasulullah wafat di tahun 632 M terjadilah pergantian dan perebutan
kekuasaan yang terus menerus, sebagai penggantinya baginda Rasulullah SAW.
Pergantian tersebut dimulai dari Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn
‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, dan Mu’awiyah.
Dalam Pergantian kedudukan dari khalifah Ali
Ibn Abi Thalib ke Mu’awiyah, maka disinilah awal timbulnya persoalan politik karena adanya kecurangan yang dilakukan oleh Mu’awiyah.
Karena adanya kecurangan inilah maka timbullah klaim kafir dan bukan kafir yang
akhirnya melahirkan golongan-golongan teologi dalam islam, seperti khawarij,
murji’ah, mu’tazilah, qadariyah dan jabariyah, serta ahli sunnah wal jama’ah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi M.A., Pengantar Theology Islam (Cet. II; Jakarta: P.T. JAYAMURNI, 1974),
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta:
Amzah, 2009),
Abdul
al-Salam Bilaji, “Tathawwur Iim Ushul
al-Fiqh..” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum
Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010),
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim,
(Yogyakarta: SIPRESS, 1993),
Abdul
Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam
(Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001),
Abdul
Wahab Khallaf, Khulafah Tarikh Tasyri’
al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan
Sejarah Hukum Islam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),
Abu
Daud Sulaiman bin Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Juz II (Cet. I; Kairo:
Musthatfa al-bab al- Halabi, 1952), lihat juga Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,
Juz I (Beirut: Dar-al-Fikr, 1967),
Abuddin Nata.2011. Sejarah Pendidikan Islam.
(Jakarta: Pranada Media Group),
Ahmad Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983),
Al
Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl:
Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka,
2004),
Ali Yafie, Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah
Gusti, 1995),
Anwar
Harjono, Hukum Islam Keluasaan dan
Keadilannya,(Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990),
Gazali
suyuti, Maslahat Mursalah dan
Pengembangan Hukum Islam: Studi terhadap Metode Ijtihad Umar bin Khattab,
Ar-Risalah, (Tahun IV No 2/ November 2004),
Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),
Hasan Langgulung, Asas-asas
Pendidikan Islam, ( Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1992),
http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/30/masa-pembaharuan-pendidikan-islam-2/
http://wawasansejarah.com/sejarah-pemikiran-hukum-islam/
https://enthutuk.wordpress.com/2016/05/13/sejarah-pemikiran-pendidikan-islam/
https://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/23/perkembangan-pemikiran-hukum-islam/
Manna’
al al-Qhattan, “Tarikh Tasyri’ al-Islami,
” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’
Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010),
Mansur, Peradaban Islam dan Lintasan
Sejarah, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004),
Muhammad
Ali al-Sayyis, “tarikh tasyri’,”
dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok:
Gramata Publishing, 2010),
Muhammad Salam Madkur, Mana hij Al Ijtiha al-Islam (Kuwait :
Univ. Kuwait),
Rasyad
Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj,
Nadirsyah Hawari ( cet.1, Jakarta; Bumi Aksara, 2010),
Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam):
Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Press,Cet. 2, 2012),
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010),
Shufiy
Hasan Abu Thalib, Tathbiq al-Syari’at al-Islamiyat fi al-Baladi al-Arabiah
(Cairo : Dar al Nahdah al-Arabiah, t.th.),
T.M
Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah Perkembangan
dan Pertumbuhan hukum Islam (cet.1;Jakarta;Bulan Bintang.1971M, )
Taib Thahir Abd. Muin, ILMU KALAM (Cet. II; Jakarta: Penerbit
Widjaya, 1973),
Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Vol. 1;
Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) ,
Yayan
Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010),
[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010),
h. 15
[2] Mansur, Peradaban
Islam dan Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama,
2004), h. 7
[3]
https://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/23/perkembangan-pemikiran-hukum-islam/
[4] T.M Hasbi
ash-shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan hukum
Islam(cet.1;Jakarta;Bulan Bintang.1971M, h.15)
[5] T.M Hasbi
ash-shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan hukum Islam,……….. hal. 16
[6] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), h. 87-90.
[7] Muhammad Ali
al-Sayyis, “tarikh tasyri’,” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah
Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm.54
[8] Yayan
Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah
Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm.54
[9] Abdul Wahhab
Khallaf, Sejarah Legislasi Islam, terj.A. Sjinqithy Djamaluddin (cet.1,
Surabaya; AL-IKHLAS, 1994), hlm.18
[10] Q.S. Al-Baqarah (2): 219,
[11] Q.S. Al-Kafirun
(109): 1-6.
[12] Q.S. Al-Baqarah
(2): 185.
[13] Q.S. Al-Maidah
(5): 101-102.
[14] Q.s. 2:222
[15] Q.s. 2:218
[16] Q.s. 16:67, Q.s.
2:219, Q.s. 4:43
[17] T.M Hasbi
ash-shiddieqy, Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan hukum Islam…, hlm.17-18
[18] Legislasi atau undang-undang adalah hukum
yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur ketahanan yang lainnya. Sebelum
disahkan, undang-undang disebut sebagai rancangan Undang-Undang.
[19] Abdul Wahhab
Khallaf, Sejarah Legislasi Islam,……….., hlm.22
[20] Muhammad Salam
Madkur, Mana>hij Al Ijtiha al-Islam (Kuwait : Univ. Kuwait), h. 43.
[21] Abdul Wahab
Khallaf, Khulafah Tarikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan
Sejarah Hukum Islam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 11.
[22] Wahbah
al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Vol. 1; Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) , h.
624.
[23] Abu Daud
Sulaiman bin Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu> Daud, Juz II (Cet. I; Kairo:
Musthatfa al-bab al- Halabi, 1952), h. 272 lihat juga Al-Tirmidzi, Sunan
al-Tirmidzi, Juz I (Beirut: Da>r-al-Fikr, 1967), h. 157.
[24] Abdul Wahab
Khallaf, Khulafah Tarikh Tasyri’ al-Islami …………………..h. 14.
[25] Lihat, Shufiy
Hasan Abu Thalib, Tathbiq al-Syari’at al-Islami>yat fi> al-Baladi
al-Arabi>ah (Cairo : Dar al Nahdah al-Arabi>ah, t.th.), h. 27
[26] Gazali suyuti,
Maslahat Mursalah dan Pengembangan Hukum Islam: Studi terhadap Metode Ijtihad
Umar bin Khattab, Ar-Risalah, (Tahun IV No 2/ November 2004), h. 91
[27] Yayan Sopyan,
Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing,
2010), hlm.66-hlm.67
[28] Yayan Sopyan,
Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, ……….hlm.64
[29] Anwar Harjono,
Hukum Islam Keluasaan dan Keadilanny, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
h. 45
[30]
http://wawasansejarah.com/sejarah-pemikiran-hukum-islam/
[31] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’, terj, Nadirsyah Hawari ( cet.1, Jakarta; Bumi Aksara,
2010), hlm.63.
[32] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’, …………………………….., hlm.65.
[33] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’, …………………………….., hlm.67.
[34] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’, …………………………….., hlm.68-69.
[35] Manna’ al
al-Qhattan, “Tarikh Tasyri’ al-Islami, h. 193-194.” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah
Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm.86)
[36] Abdul al-Salam
Bilaji, “Tathawwur Iim Ushul al-Fiqh, h.30.” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’
Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), h.86
[37]
http://wawasansejarah.com/sejarah-pemikiran-hukum-islam/
[38] Yayan
Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah
Pembentukan Hukum Islam,………………….,hlm.90-91
[39] Ali Yafie,
Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm.43
[40] Yayan
Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah
Pembentukan Hukum Islam,………………….,hlm.92-93
[41] Yayan
Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah
Pembentukan Hukum Islam,………………….,hlm.94
[42]
http://wawasansejarah.com/sejarah-pemikiran-hukum-islam/
[43] A. Susanto,
Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 2-3
[44] Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,
( Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1992),hlm. 120
[45] Abdul Munir
Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), hlm. 74
[46]
http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/30/masa-pembaharuan-pendidikan-islam-2/
[48] Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam, ……………………………………., hlm. 145
[49]
https://enthutuk.wordpress.com/2016/05/13/sejarah-pemikiran-pendidikan-islam/
[50]
https://enthutuk.wordpress.com/2016/05/13/sejarah-pemikiran-pendidikan-islam/
[51] Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam,
……………………………………., hlm. 147-151
[52] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan (Cet. V;
Jakarta: PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA,
1986), h. ix.
[53] Sahilun A.
Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,
(Jakarta: Rajawali Press,Cet. 2, 2012), hal. 3
[54] Deding Siswanto,
ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 31. Lihat Juga A. Hanafi M.A.,
PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;
Jakarta: P. T. JAYAMURNI, 1974),
h. 18.
[55] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
3
[56] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
4
[57] Deding Siswanto,
ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 32.
[58] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
5
[59] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
6
[60] Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), h. 27
[61] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
7
[62] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
8
[63] Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), h. 28
[64] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
9
[65] Taib Thahir Abd.
Muin, ILMU KALAM (Cet. II; Jakarta: Penerbit Widjaya, 1973), h. 92.
[66] Al Syahrastani,
al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2004), h. 225.
[67] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
7
[68] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
8-9
[69] A. Hanafi M.A.,
PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;
Jakarta: P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 20.
[70] Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran,
sejarah, analisa perbandingan,………….., h.
10
No comments:
Post a Comment